SOUL 4 : Pisau Yang Berlumuran Darah


Yama tidak bisa berhenti memikirkan alasan kenapa Sansudra Tanujaya berteriak pada Samudra hanya karena jus dan penyebab Kurgana datang ke Mansion orang nomor satu di keluarga Tanujaya itu. Otaknya dipenuhi spekulasi. Paling sedikit ada selusin dugaan untuk masing-masing kejadian, yang memaksa ia berpikir semalaman, nyaris tanpa henti. Vivandak berceloteh, jika saja dirinya masih ingin membunuh Yama, dia hanya perlu menunggu, karena dengan otak yang dibiarkan bekerja kelewat intens seperti itu tinggal masalah waktu sampai Yama tewas dengan kepala pecah.

Yama yang tidak tertarik mendengar ledekan Vivandak lantas memintanya memberi sedikit pendapat mengenai dua peristiwa mengejutkan tersebut.

“Kurgana mungkin terobsesi menghabisi teman-temanmu. Sedangkan pendapatku tentang Sansudra, menurutku dia ingin meracuni Samudra,” Ujar Vivandak enggan.

“Ya, soal Kurgana akupun berpikiran sama. Tapi awalnya, seingatku Aseplah yang berniat menghabisi mereka, bukan Kurgana. Kau pernah berkata padaku bahwa tubuh Asep telah diambil alih sepenuhnya oleh makhluk itu, bukankah itu berarti Asep sudah lenyap bersama niat membunuhnya? Lantas kenapa Kurgana ingin membunuh mereka juga? Apa keinginan Asep diwariskan pada makhluk itu?”

“Apa kau tidak paham arti kata sepenuhnya?” tanya Vivandak “Tidak ada istilah diwariskan, diturunkan, diteruskan atau sejenisnya. Jika kau tanya aku kenapa Raksas itu juga ingin membunuh mereka, maka jawabanku adalah dia tidak ubahnya seperti makhluk buas yang haus darah setelah dilahirkan. Teman-temanmu berada di tempat yang salah, diwaktu yang salah. Kurgana yang baru lahir dengan tubuh utuh butuh sesuatu untuk dirobek-robek dan itulah peran mereka. Maka saat gagal, dia kesal dan terus memburu.”

“Tapi dia tidak gagal,” bantah Yama cepat. “Saat aku mengalihkan perhatiannya dari Saras dia bisa saja menjadikanku sebagai target, setelah itu dia bisa menghabisi nyawa Saras dan yang lain. Tapi dia tidak melakukan itu, dia kabur, dia pergi dan membuang kesempatan untuk membunuh kami semua. Tingkahnya sangat tidak efektif untuk makhluk buas yang butuh sesuatu untuk dirobek-robek.”

Yama melirik Vivandak, yang berdehem salah tingkah. “Yah, itulah pendapatku, dari apa yang kulihat di Villa temanmu.” Yama masih melirik Vivandak. “Apa yang kau harapkan dariku? Analisa brilian? Aku bukan bocah sok pemikir sepertimu.”

Yama terkekeh. Lalu sembari memandangi Samael Samvid yang tergeletak di atas meja dia berkata, “Raksas sepertinya jenis makhluk yang sulit dimengerti. Kau harus menjelaskan padaku tentang mereka, sedetail mungkin.”

“Baik, tapi bukan sekarang.” Vivandak menolak.

“Hei, aku butuh penjelasanmu sekarang.”

“Ini sudah hampir pagi! bukan waktunya memberi kuliah,” kata Vivandak.

Yama tertegun. “Apa kau ini juga butuh tidur?”

Dan Vivandak menghilang tanpa menjawab. Yama menghela nafas. Tidak mendapatkan penjelasan yang dibutuhkan membuat kepalanya semakin penuh. Sementara ini dia menandai pendapat Vivandak mengenai Kurgana sebagai jawaban paling baru dan menyingkirkan perkara Raksas itu dari otaknya untuk kembali mengevaluasi satu masalah yang lain.

Maka Yama terus terjaga. Pendapat Vivandak mengenai Sansudra Tanujaya benar-benar mempengaruhi dirinya. Dia nyaris menyetujui kemungkinan bahwa Sansudra memang berniat meracuni salah satu tamunya, karena kemungkinan yang sama juga sempat terlintas di kepala Yama. Satu hal yang pasti, bukan Samudra yang menjadi target, ekspresi yang Sansudra tunjukkan merupakan petunjuk. Yama menerka-nerka siapa yang paling mungkin menjadi target di antara dia, Bara, Saras dan Pertiwi, lalu hal itu mengantarkan ia pada satu kesimpulan lagi, yang kali ini membuat Yama tidak percaya; Sansurda memang ingin meracuni cucunya sendiri, yaitu Saras!

Ini memang sulit dipercaya, tetapi hanya Saraslah yang paling mungkin menjadi target. Gadis itu bersikap aneh sepanjang makan malam. Dia menunjukkan ketidaksukaannya pada sang kakek dengan begitu terang-terangan. Sesuatu telah terjadi pada pasangan kakek dan cucu ini, entah apa, yang jelas konflik di antara mereka mungkin menyulut kemarahan di hati Sansudra dan membuat si kakek ingin memberi pelajaran pada si cucu, pelajaran yang sayangnya, terlalu ekstrim.

Yama berharap kesimpulan gila itu tidak benar. Analisanya akan runtuh jika beberapa hari ke depan tidak tersiar kabar buruk dari Samudra, dan, akan menjadi bukti berharga, jika yang terjadi justru sebaliknya. Maka dia harus menunggu. Menunggu sesuatu terjadi pada Sam.

***

Yama terbangun. Pipinya menempel di permukaan meja belajar yang basah tergenang liur. Tanpa sadar dia sempat memejamkan mata dan tidur sebentar. Dia sangat ingin tidur lagi, tetapi Vivandak terus memukul-mukul punggungnya, menyuruh dia bangun karena ada seseorang yang mengetuk pintu seakan ada teroris di dalam rumah.

“Siapa sih orang gila yang mengetuk pintu sekeras itu pagi-pagi begini?” kata Yama lesu sembari mengusap sisi bibirnya yang basah.

“Sebenarnya ini hampir siang,” ucap Vivandak jujur.

Ternyata orang gila itu adalah Bara.

“Sekarang aku tidak yakin bel rumahmu rusak. Aku sudah mengetuk pintu keras-keras hampir dua menit tapi kau tidak keluar juga. Mungkin telingamu yang bermasalah…”

“Mau apa kau kemari?” tanya Yama sambil mengucek mata.

“Kau lupa? Hari ini kita harus menemui Sheila. Calon klienmu,” jawab Bara jengkel.

Yama memang lupa. Matanya yang tadi berat terbelalak lebar ketika mengingat tentang janji penting itu secara mendadak, seolah ingatan itu didorong paksa dengan kekuatan hebat, membuat mata Yama melotot nyaris keluar dari rongganya…

“Masuklah, aku mau mandi,” ucap Yama cepat.

Dan dia berlari masuk ke ruang tengah, sementara rambut Bara berkibar, terhempas angin yang bertiup akibat saking cepatnya Yama berlari.

***

Mandi membuat Yama merasa lebih segar, meskipun tidak bisa mengusir kantuk. Dia bersyukur Bara datang dengan mobil sehingga dia bisa duduk di kursi belakang dan mencoba untuk tidur. Tapi memejamkan mata di dalam kendaraan yang bisa menghadapi apa saja di jalan (polisi tidur, kucing yang menyeberang, atau sesama pengendara yang terlalu takut untuk ngebut) bukan ide yang bagus. Beberapa kali kepala Yama membentur sandaran kursi dan hampir terlempar saat mencoba tidur telentang karena Bara (sepertinya dengan sengaja) berkali-kali mendadak mengerem. Akhirnya dia memutuskan untuk menikmati perjalanan, dalam keadaan setengah mengantuk.

Menuju jalan Malaka yang merupakan akses utama menuju Diamond Village, salah satu kawasan perumahan elite di Atarantis, Yama mengira mereka hampir sampai di tempat tujuan, karena kompleks perumahan yang elite biasanya merupakan sarang bagi selebritis kaya. Ternyata mobil masih melaju hingga melewati kawasan itu dan terus berjalan sampai ke pertigaan perdamaian, sebuah wilayah yang tidak sepenuhnya damai karena sejauh mata memandang, kawasan ini hanya dipenuhi tempat hiburan masyarakat modern yang ramai seperti mall (yang berdiri berhadap-hadapan seperti raksasa yang saling mengintimidasi, untung saja mereka tidak hidup, karena jika begitu mereka pasti sudah berkelahi berebut pengunjung), diskotik, game center dan lain-lain. Yama pikir kali ini mereka akan sampai, karena tidak jauh dari pertigaan itu terdapat apartemen. Para selebritis pasti suka tinggal di gedung mewah yang dekat dengan pusat hiburan. Namun sekali lagi dia salah, Bara melewatinya tanpa mengurangi kecepatan, dan terus melaju sampai melewati jembatan Sudirman, jembatan terbesar di kota ini, lalu memasuki kawasan Toba yang berbatasan dengan salah satu kawasan Atarantis tepi, yang merupakan daerah kumuh.

Sheila tidak mungkin tinggal di Atarantis tepi, kan? Begitu yang Yama pikirkan saat mereka masih berada di kawasan Toba. Mobil Bara lalu melaju meninggalkan kawasan itu, menjauhi perbatasan Atarantis dalam dan Atarantis tepi. Pertanyaan Yama terjawab saat mobil Bara berbelok dari jalan SM Dinata dan masuk ke gerbang sebuah perumahan sederhana. Lalu mereka masuk ke pekarangan salah satu rumah di sana.

Mereka sudah sampai. Yama keluar dari mobil dan memandangi rumah sederhana di depannya. Ukuran rumah ini di luar perkiraan. Memang sih bangunan itu lebih besar dari tempat tinggal Yama, tetapi terlalu kecil untuk penyanyi muda yang tengah digandrungi. Dia memandang berkeliling dan menemukan taman kecil berumput hijau dengan tanaman yang jarang serta sisa gundukan pasir beserta tumpukkan kecil batu bata.

“Rumah ini baru direnovasi,” kata Bara saat melihat Yama memandangi sisa material itu.

Bara mengetuk pintu yang sudah terbuka lebar. Yama mengintip ruang tamu dari balik bahu Bara. Tak lama seorang gadis cantik berambut sebahu (dengan poni yang kelewat lurus sehingga Yama pikir barisan rambut itu dirapikan dengan penggaris) muncul dari dalam, menenteng sapu dan serokan.

“Bara?” serunya.

Bara membalas sapaan itu dengan senyum lebar. Si gadis langsung menghambur ke depan, membiarkan sapu dan serokannya terjatuh di lantai, lalu memeluk Bara erat seperti orang yang takut jatuh dari ketinggian.

Yama berpikir dia bisa saja memotret momen langka ini untuk ditunjukkan pada Saras. Dia pasti marah melihat sang pacar berpelukan dengan gadis lain yang tidak kalah cantik.

“Kau datang juga, aku kangen sekali, tau,” kata gadis itu setelah mereka selesai berpelukan.

“Aku juga, Sheila. Untungnya aku masih ingat alamat rumahmu,” ujar Bara.

“Kenapa kalian berpelukan seerat tadi? Bukankah belum lama ini kalian sudah bertemu?” Yama tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.

“Kami baru bertemu lagi hari ini. Sheila memberitahu kalau dia sedang butuh pelukis dari sosial media. Jadi jangan berpikir macam-macam, apalagi sampai berniat mengatakan yang tidak-tidak pada Saras,” ancam Bara. “O ya, Sheila, dia ini adalah pelukis yang aku rekomendasikan padamu, namanya Yama Sanjaya.”

Sheila tersenyum manis pada Yama dan mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Wajah Yama memerah. Gadis ini cantik sekali, bahkan Saras akan terlihat biasa saja jika disandingkan dengannya. Dia penasaran, apa Bara tidak akan berpaling pada teman penyanyinya itu?

“Maaf, kau harus ikut repot. Aku memang membutuhkan pelukis hebat untuk menyelesaikan satu properti video klip terbaruku. Untunglah Bara punya teman yang hebat sepertimu. Dia bilang kau sangat berbakat dan karyamu sangat indah,” ujar Sheila ceria.

“Bara bilang begitu padamu?” tanya Yama.

Sheila mengangguk-angguk seru. Yama melirik Bara, bibirnya mencibir. Bara membalas dengan mengangkat dagu sebentar sembari mengeja “Apa?” tanpa bersuara lalu membuang muka ke arah lain.

“Bara, Yama, ayo masuk.” Ajak Sheila ramah.

Ruang tamu rumah itu tidak besar-besar amat. Perabotannyapun tidak banyak, hanya ada satu meja kayu yang dikelilingi oleh dua kursi yang berdiri berdekatan mengapit jendela dan satu kursi yang lebih panjang saja.

“Duduklah, aku akan selesaikan dulu bersih-bersih di teras belakang. Tidak akan lama kok,” kata Sheila sembari memungut sapu dan serokannya yang tergeletak di lantai.

“Ah, kalau boleh, aku ingin berkeliling rumah. Karena sudah lama sekali tidak ke sini rasanya ingin bernostalgia,” ucap Bara, memandang berkeliling.

“Tentu saja boleh,” kata Sheila. “Tapi rumah ini masih kotor karena baru selesai di renovasi kemarin dan aku baru sempat bersih-bersih hari ini.”

“Tidak apa-apa. Sana lanjutkan pekerjaanmu,”

Sheila berjalan menyeret sapu dan memanggul serokan menuju ruang tengah. Begitu si pemilik rumah menghilang dari pandangan, Yama berbisik, “Hei, apa temanmu itu tidak punya pembantu, asisten rumah tangga atau semacamnya?”

Bara mengangkat bahu. “Seharusnya dia punya. Tapi dari dulu hobi yang paling dia sukai selain menyanyi memang bersih-bersih.”

***

Rumah Sheila memang sangat sederhana untuk seorang bintang top. Bangunan ini hanya terbagi menjadi dua bagian saja yaitu ruang tamu dan ruang tengah (yang hanya berupa lorong selebar satu setengah meter yang menjadi pembatas empat ruangan yang saling berhadap-hadapan; dua kamar sempit di sisi kiri dan dapur serta satu kamar lagi di sisi kanan). Sisanya adalah teras belakang yang di kelilingi taman kecil yang merupakan halaman belakang rumah. Di teras belakang itu ada tangga kayu menuju lantai dua yang berisi tempat jemuran dan satu kamar lainnya.

Saking sederhananya, siapa saja yang duduk di dua kursi yang berdekatan dengan jendela di ruang tamu bisa melihat sedikit bagian kitchen set yang ada di dalam dapur. Yama juga bisa mendengarkan suara kursi yang digeser dari arah ruangan tamu saat Sheila meneruskan kesibukannya di sana ketika dia dan Bara sedang melihat-lihat halaman belakang.

“Rumah ini kecil dan berantakan sekali. Tata ruangnya begitu buruk bahkan di mataku yang awam soal arsitektur. Kenapa temanmu itu tidak pindah saja ke apartemen mewah? Biasanya selebritis tinggal di tempat elite, kan?” tanya Yama pada Bara.

Mereka berdua berjalan masuk ke ruang tengah. Ketika Bara berhenti di depan pintu kamar di sebelah dapur dia menjawab, “Aku tidak tahu, tetapi mungkin saja kenangan yang dimiliki rumah ini adalah penyebab dia tidak pindah ke tempat yang lebih bagus.”

“Kenangan?” tanya Yama lagi.

Bara mengangguk sembari membuka pintu. Mereka berdua masuk ke dalam, yang ternyata sama sekali kosong. Kamar bercat merah itu tidak besar, bahkan lebih kecil dari kamar Yama.

“Wah, sudah lama sekali aku tidak masuk kamar ini. Kamar ini jadi terlihat lebih sempit dari sebelumnya,” celoteh Bara.

“Kau pernah masuk ke sini?” kata Yama.

“Yah, aku pernah. Bahkan cukup sering. Jika menginap di rumah ini, di kamar inilah aku tidur.”

“Apa? Kau pernah menginap di sini? Menginap di rumah perempuan?” Yama histeris.

“Heh, jangan salah paham begitu. Dulu aku sering menginap bukan karena ajakan Sheila, tapi karena ajakan Billy, kakaknya.” Bara meluruskan. “Sheila itu anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku dan Billy sudah berteman sejak SD. Karena itu aku juga akrab dengan dua adik perempuan dan juga kedua orang tuanya.”

Yama mendengus. “Rumah ini pasti makin sempit dihuni lima orang. Seharusnya Sheila menjualnya saja dan membeli yang lebih besar agar….”

“Tadinya rumah ini memang terlalu kecil untuk lima orang.” Bara memotong ucapan Yama. “Tapi sekarang tidak lagi. Kakak dan orang tua Sheila sudah tidak ada. Mereka berempat tewas dibantai, di rumah ini.”

“Di, dibantai?” tanya Yama.

Bara mengangguk. “Itu terjadi sekitar 4 tahun lalu. Sheila kemudian pindah ke Bandung dan tinggal bersama pamannya. Satu tahun setelah pembantaian itu aku mendengar kabar dia kembali ke rumah ini dan memutuskan untuk tinggal. Di sini dia merasakan hangatnya sebuah keluarga, di tempat ini dia mulai merintis kariernya dan, di tempat ini pula dia bisa mengenang orang-orang yang dikasihi.”

“Jadi, itu yang kau maksud sebagai kenangan?” ucap Yama. Pertanyaan itu dijawab Bara sekali lagi dengan anggukan dan senyum muram.

Mendadak Yama menjadi salah tingkah. Tidak ada yang lebih berharga dibandingkan rumah yang menyimpan kenangan sebuah keluarga. Gedung setinggi dan semegah apapun tidak akan bisa menggantikan itu, Yama sangat sadar karena dia juga merasakan hal yang sama pada tempat tinggalnya. Dia berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya dengan mengusap-usap dinding. Dia dibuat tertarik karena permukaan dinding itu lebih cerah dibandingkan warna dinding di tiga sisi yang lain.

“Dinding ini sepertinya belum lama dicat. Tapi kenapa hanya dinding ini yang dicat ulang?” Gumam Yama.

“Apa? Apa ada yang aneh?” tanya Bara.

Yama mengabaikan pertanyaan Bara karena dia menemukan beberapa noda berwarna abu-abu di lantai dekat dengan dinding bercat baru itu. “Ini semen yang mengering.”

“Bara, Yama, ayo kita makan kue, aku juga sudah menyiapkan sirup di ruang tamu.” Ajak Sheila yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Sheila, apa kamar ini juga direnovasi?” tanya Yama.

“Aku tidak tahu. Asistenku yang mengurus masalah renovasi rumah,” jawab Sheila.

Yama menatap Sheila beberapa saat. Gadis itu terus memberinya senyum, yang makin lama makin pudar. Tak lama Sheila berdehem.

“Ayo Bara, ayo Yama.”

Bara lalu menyeret Yama keluar. Mereka mengikuti Sheila kembali ke ruang tamu.

***

Mereka baru tiba di ruang tamu saat terdengar suara mobil yang berhenti di pinggir pagar. Sheila berlari kecil ke teras untuk mengecek. Sebuah mini bus hitam memang berhenti di sana, atau lebih tepatnya terpaksa karena satu-satunya lahan parkir yang ada sudah terpakai oleh mobil Bara.

“Bara, itu Paman Nanda,” kata Sheila.

Ada dua orang pria beserta satu wanita yang keluar dari mobil itu sehingga Yama tidak tahu siapa yang gadis itu maksud. Ketiganya memakai kaos hitam bertuliskan ‘Sheila Anabelle’. Salah satu dari mereka nampak melompat kecil sembari menepuk-nepuk celana sebelum berjalan memasuki halaman.               

“Ada tamu rupanya,” celoteh pria yang ketika berada di depan pagar tadi sibuk dengan celananya.

“Paman Nanda, apa kabar?” Bara menyapa pria itu.

Nanda bertubuh agak kurus. Rambut pendeknya yang hitam dihiasi beberapa helai uban. Dia nampak lelah, namun senyum di bibirnya yang hitam saat melihat Bara begitu lepas, seperti sedang melihat teman lama.

“Ternyata memang Bara! Lama tidak bertemu, kau makin tampan dan tegap saja. Bagaimana kabarmu?” ucap Nanda senang.

“Baik. Paman pasti sibuk sekali akhir-akhir ini,” kata Bara. Ucapannya disambut gelak tawa Nanda. “Oh iya, Yama, perkenalkan, beliau ini Nanda Syahrial. Beliau adalah manager sekaligus paman kandung Sheila. Paman, Yama ini adalah pelukis yang akan membantu menyelesaikan properti video klip Sheila.”

Nanda mengulurkan tangan pada Yama. Saat Yama menerimanya, dia bergumam, “Apa Anda tahu bahwa merokok itu tidak baik?”

“Apa?” tanya Nanda bingung. “Kau tahu aku perokok?”

“Anda baru saja selesai merokok satu menit yang lalu, kan? itupun karena rokoknya jatuh dan melubangi celana saat turun dari mobil. Ya, saya bisa melihat lubangnya. Saya semakin yakin saat melihat kuku jari Anda yang kuning dan bibir Anda yang hitam, itu ciri yang bisa ditemukan pada tubuh perokok berat.” Yama melepaskan tangan Nanda. “Saya Yama Sanjaya, senang berkenalan dengan Anda.”

“Wah nak, kau keren sekali. Matamu itu pasti bisa melakukan Zoom In dan Zoom Out seperti lensa kamera,” celetuk pria kedua yang rambut panjangnya dikuncir kuda. Pria itu juga mengulurkan tangan pada Yama. “Namaku Andi, Asisten Sheila.” Dia lalu mengulurkan tangan pada Bara setelah menjabat tangan Yama.

“Aku Asisten Sheila yang kedua, tukang rias pribadinya. Namaku Dinda.” Si wanita, yang terlihat galak karena tatapan tajam dan lipstick berwarna gelap yang membalut bibir tebalnya itu memperkenalkan diri.

Dua menit kemudian Sheila mengajak semua orang masuk. Nanda dan dua temannya duduk di kursi panjang  sementara Yama dan Bara duduk di dua kursi dekat jendela. Mereka berdua sama-sama memperhatikan saat Sheila berjalan menuju dapur untuk mempersiapkan tiga sirup lagi.

“Maaf, ada yang ingin saya tanyakan,” ucap Yama.

“Apa itu, Yama?” tanya Nanda.

“Kapan rumah ini mulai direnovasi?”

“Oh tentang itu,” Gumam Nanda. “Rumah ini mulai direnovasi kira-kira seminggu yang lalu. Andi yang mengurusn, karena aku sibuk dengan persiapan tour konser Sheila. Begitu tour dimulai renovasi rumah ini juga dimulai.”

“Sebenarnya aku mengurusnya bersama Dinda. Kebetulan pamannyalah yang menjadi mandor. Dia mengusulkannya padaku agar saat sibuk dengan tour kami tidak perlu mengkhawatirkan rumah. Saat itu paman Dinda juga tidak punya pekerjaan, jadi selain karena profesional dan bisa dipercaya aku menerimanya karena dia sedang butuh uang,” ujar Andi terus terang.

“Hei, apa itu perlu dibeberkan?” Dinda mendadak terlihat tersinggung.

“Lho, bukannya itu kenyataan? Pamanmu itu pekerja keras, kenapa harus malu?” tanya Andi bingung.

“Jadi, saat rumah ini direnovasi kalian semua berada di luar kota?” tanya Yama.

Nanda mengangguk. “Kami meninggalkan rumah ini dan mempercayakan semuanya pada Mandor. Dan karena si Mandor adalah kerabat dekat Dinda, akhirnya malah dia yang sibuk mengurus renovasi rumah, si mandor lebih suka berkonsultasi masalah pekerjaan dengan keponakannya, dibanding dengan Andi.”

“Apa boleh buat. Aku juga harus mengurus hal lain di konser kemarin kan?” Andi menimpali buru-buru.

“Rumah ini juga nampaknya tidak mengalami banyak perubahan setelah direnovasi. Rasanya seperti kembali ke masa lalu saat datang kemari,” ucap Bara, yang kemudian disambut gelak tawa Nanda.

“Ya itu memang benar. Kami hanya meminta pekerja untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak saja dan memperbarui catnya. Lagipula Sheila tidak ingin ada banyak perubahan di rumah ini karena….”

“…rumah ini penuh kenangan.” Sambung Sheila yang muncul dari ruang tengah dengan nampan berisi tiga gelas sirup. “Aku memang tidak menginginkan banyak perubahan. Aku hanya ingin rumah ini menjadi lebih rapi, itu saja.”

“Bukankah rumah ini juga sangat berarti buat manajer? Manajer pernah bercerita padaku sejak kejadian 4 tahun lalu, tepatnya sejak kematian Ibu Sheila yang juga kakak manajer, manajer hanya bisa mengenang beliau dengan memandangi rumah ini, begitu kan?” ujar Andi.

“Heh, kau ini! tidak perlu menyinggung hal itu di depan tamu!” gerutu Dinda cepat.

“Lho, aku tidak bermaksud apa-apa. Manajer memang bilang begitu. Bukankah itu cerita yang sangat menyentuh? Untung saja Sheila masih ada. Dengan begitu manajer bisa mengobati duka karena kehilangan kakak dan juga anak semata wayangnya.”

“Tapi kau tidak perlu mengatakannya secara gamblang begitu. Itu bisa membuat manajer sedih, kan?” protes Dinda lagi.

“Aku hanya mencoba berbagi cerita. Aku tidak bermaksud membuat siapapun sedih.”

“Kalian berdua, berhentilah,” ucap Nanda. Pria itu tampak lesu saat perlahan berdiri. “Maaf Bara, Yama, silakan lanjutkan obrolannya. Aku mau ke halaman belakang.”

“Paman, kurangi merokoknya.” Sheila mewanti-wanti. Nanda tidak menjawab. Dia berjalan pelan, meninggalkan ruang tamu. “Maaf, setiap sore beliau memang selalu merokok di teras belakang.”

“Lain kali jaga bicaramu,” ucap Dinda ketus pada Andi.

“Sudah kubilang Aku hanya mencoba berbagi, lagipula itu kenyataan. Manajer saja tidak pernah marah padaku, kenapa kau malah repot?” balas Andi jengkel.

“Anda bilang paman Nanda juga kehilangan anaknya. Apa dia juga meninggal?” tanya Yama.

Andi menggeleng. “Tidak. Dia masih hidup. Tapi sekarang dia menetap di rumah sakit jiwa.” Lalu dia memelankan suaranya. “Anak itu gila, aku tidak tahu kenapa, tapi manajer pernah bilang anaknya dirawat di sana sejak 10 tahun lalu.”

“Kau mulai lagi! Padahal baru saja kuperingatkan.” Dinda benar-benar terlihat kesal.

Dan Andi juga terlihat sama kesalnya. “Aku hanya menjawab pertanyaan Yama, apa salahnya?”

“Dua orang itu berisik sekali.” Suara Vivandak tiba-tiba terdengar. “Yama, ayo pergi dari sini. Aku tidak tahan mendengarnya.”

“Sheila,” kata Yama. “Halaman belakang rumahmu cukup cocok untuk background lukisan. Aku akan ke sana untuk memilih sudut yang paling bagus.”

“Oh, baiklah. Silakan, Yama.” Sheila memberi izin.

“Hei kau mau kemana Yama? Aku baru saja akan memperdengarkan salah satu lagu terbaru Sheila yang khusus kuduplikasi untuk kalian,” kata Andi saat melihat Yama bangkit dari kursinya.

“Apa itu tidak apa-apa, paman?” tanya Sheila.

“Tidak apa-apa. Ini ide manajer. Saat kau kasih kabar Bara dan Yama kemari dia meminta salah satu file lagumu yang baru agar teman lamamu ini menjadi orang pertama yang mendengarnya sebelum album barumu rilis. Akhirnya ku-copy agar kita semua bisa mendengarkannya bersama,” Jawab Andi.

Yama mengabaikannya. Dia sedang melenggang menuju ruang tengah saat Andi membagi-bagikan MP3 player lengkap dengan headset pada Bara, Sheila dan Dinda.

***

“Seharusnya kau menyingkir sedari tadi,” gerutu Vivandak yang baru saja muncul ketika dirinya dan Yama telah berada di bagian paling belakang rumah Sheila. “Orang-orang di sana berisik sekali, membicarakan hal yang tidak penting, bersuara keras dan saling berteriak satu sama lain….”

Yama berjalan ke sisi kanan halaman, meninggalkan Vivandak yang masih menggerutu sendirian. Dia baru menyadari ada dua pintu besi di halaman belakang. Satu di pagar tembok semeter di depannya dan satu lagi di pagar tembok sekitar tiga meter di depan teras. Dia sedang berjalan ke pintu besi itu, penasaran ke mana pintu itu menuju, saat kaki kanannya yang telanjang refleks terangkat nyaris setinggi perut, membuat dia hampir jatuh terjengkang. Dia baru saja terselomot rokok yang tergeletak persis di depan bottom ventilation.

Yama memungut rokok yang masih panjang itu.

“Satu-satunya orang yang kutahu merokok di tempat ini hanya paman Nanda. Dia yang perokok berat tidak mungkin membuang rokok yang masih utuh begini,” gumam Yama.

“Bahkan hal kecil seperti gulungan kertas dengan ujung terbakar itu saja membuat otakmu bekerja,” kata Vivandak yang melayang pelan ke sebelah Yama. “Aku tidak sabar melihat kepalamu meledak.”

Tepat saat itu terdengar suara gaduh dari arah tangga kayu di teras. Terdengar seperti langkah kaki yang menuruni tangga dengan terburu-buru disusul suara debam tubuh yang jatuh ke lantai. Sontak Yama bergerak menuju teras, membuang rokok pungutannya. Lalu dia mendapati Nanda berdiri tidak berdaya karena di dekap kuat dari belakang oleh Kurgana!

“Dia lagi!” seru Yama dengan mata terbelalak melihat Nanda menjadi sandera.

Nanda tiba-tiba berteriak kesakitan. Lalu ia ambruk telungkup ke lantai, menggelepar dengan sebilah pisau dapur menancap di punggung. Raksas itu baru saja menusuknya!

Kurgana menoleh sangar pada Yama. Wajahnya yang bermoncong menyeringai. Kemudian dengan santai dia melenggang mendekati Yama dan menatap sesaat sebelum berlari ke halaman dan melompati pagar tembok di seberang teras.

“Tunggu!” Yama berteriak. Dia tidak berniat mengejar Kurgana, namun kakinya, alih-alih mendekati Nanda yang sekarat, justru membawa ia ke pagar tembok di seberang teras.

“Oi, Yama! Bagaimana dengan orang ini?” seru Vivandak saat Yama sudah membuka pintu besinya.

***

Diluar dugaan ternyata Kurgana belum jauh. Saat Yama membuka pintu, dia sedang berlari ke arah kebun. Kejar-kejaranpun terjadi. Suara semak, daun kering dan tanaman yang tersibak bersahutan. Yama berlari kencang, berusaha memperpendek jarak dengan sang target. Meskipun begitu sebenarnya dia tidak punya persiapan apapun jika mendadak Kurgana berubah pikiran dan berbalik arah lalu menabraknya. Dia hanya ingin menanyakan beberapa hal pada monster itu, itupun jika dia berhasil mengejar atau memaksa Kurgana berhenti.

“Tunggu!” teriak Yama. “Berhenti!”

Tentu saja Kurgana tidak menurut. Tetapi rasanya aneh sekali melihat si Raksas berlari bak pencuri yang baru saja ketahuan menjarah. Yama yakin makhluk itu bisa menghilang, berlari kencang atau melakukan hal luar biasa lain agar tidak tertangkap. Itu membuat Yama berpikir kalau Kurgana sedang berusaha memancingnya.

Mereka keluar dari kebun dan berlari ke arah tanah lapang yang sepi. Kurgana berhenti ketika mereka sampai di tengah lapangan. Dia berbalik, lalu menyeringai lagi.

“Kau ceroboh sekali. Mengejarku seperti mengejar penjahat, apa kau tidak sadar aku sedang memancingmu?” tanya Kurgana.
“Yah, aku…, tahu,” sahut Yama. Nafasnya naik turun.

“Lantas kenapa kau tidak berhenti dan pulang?”

“Kau tahu? Sebenarnya…, aku…, tidak suka terlibat sesi tanya jawab…, dengan anjing.” Yama bersusah payah mengatur nafas. “Jika saja…, tidak ada…, beberapa pertanyaan yang…, membuat otakku ini…, hampir meledak aku…, tidak akan bersusah payah mengejar Raksas…, yang membunuh manusia dengan pisau dapur…, padahal punya kuku tajam.”

“Lancang sekali kau! Kau punya apa….”

“Katakan padaku!” Yama menyela Kurgana. “Apa…, yang kau lakukan di rumah…, kakek Sansudra tempo hari? Apa kau ingin…, menghabisi teman-temanku?”

Kurgana mendengus. “Kau tahu? Aku tidak suka terlibat sesi tanya jawab dengan manusia yang gagal menjadi Samael. Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu. Tapi aku akan mengatakan satu hal, teman-temanmu tidak ada artinya untukku.”

“Tunggu.” Kata Yama. “Bagaimana kau tahu aku gagal menjadi Samael?”

“Kau bodoh ya?” ejek Kurgana. “Sudah kubilang aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu. Sayang sekali, aku tidak boleh membunuhmu, padahal aku ingin sekali mengiris-iris mulutmu itu.”

Monster itu lalu terkekeh. Dia menyerongkan kaki kanan ke depan kaki kiri dan mulai memutar tubuh. Kurgana berputar makin cepat, membuat pasir dan rerumputan kering di tempat itu mulai beterbangan dan segera menjadi pusaran debu ketika tubuhnya hanya terlihat seperti gasing setinggi dua meter. Yama terbatuk-batuk, terganggu oleh serbuan debu dan nyaris terombang-ambing karena kencangnya angin. Apa yang makhluk itu inginkan? Membuat Yama mengalami gangguan pernafasan parah dengan memaksanya menghirup udara penuh kotoran di badai pasir mini yang dia buat?

Berikutnya, setelah empat belas detik penuh udara pengap, angin kencang yang terpicu oleh putaran tubuh Kurgana berhenti mendadak. Kabut debu yang masih melayang di udara perlahan hilang. Yama bisa melihat tempat di mana Kurgana berdiri sekarang kosong, hanya menyisakan sebuah kawah dangkal selebar satu meter. Raksas itu kabur lagi, hanya saja kali ini dengan cara yang lebih dramatis. Yama bersyukur tingkah sok beraninya tidak berujung petaka, karena Kurgana ternyata tidak berniat membunuhnya. Tapi kenapa?

“Kenapa kau lebih memilih mengejar Kurgana ketimbang menolong perokok yang sedang sekarat itu?” tanya Vivandak.

“Ah sial!” seru Yama. “Kau benar, aku harus segera kembali ke rumah Sheila.”

Dia kemudian berlari menuju kebun, diikuti oleh Vivandak.

***

Nyaris tersesat berjalan di tengah kebun yang kelewat rimbun, Yama dan Vivandak keluar lewat jalur yang berbeda dari sebelumnya dan sampai ke jalan setapak yang membawa mereka ke pagar tembok sisi kanan halaman belakang rumah Sheila. Di sana Yama mendapati dua orang pria bertubuh besar dengan penampilan ala preman pasar yang masing-masing mengenakan sarung tangan karet berdiri di depan pintu besi. Mereka agak kaget ketika melihat Yama berjalan mendekat dengan cepat. Meskipun berusaha bersikap biasa dan berjalan menjauh seperti orang yang hanya kebetulan lewat, ekspresi wajah kedua orang itu kelihatan seperti penjahat yang baru saja dipergoki.

Yama memandang dua orang itu, curiga. Dia makin curiga saat melihat pintu besi yang setengah terbuka. Tapi Yama tidak punya waktu hanya untuk mencurigai sepasang preman. Setelah memasuki halaman belakang, dia berlari kecil, bergegas menuju teras. Tubuh Nanda ternyata sudah tidak ada di sana.

“Apa mereka sudah memberi pertolongan?” gumam Yama.

“Kita cek saja,” usul Vivandak spontan.

Yama setuju. Mereka berdua kemudian masuk ke ruang tengah. Dahi Yama berkerut saat melihat Bara dan dua asisten Sheila berkumpul memblokir pintu dapur. Mereka memandang ke arah yang sama, ke dalam dapur, dan menunjukkan ekspresi yang sama pula, ketiganya nampak terkejut dan tidak percaya.

Guys! Paman Nanda menjadi korban penusukan, apa kalian sudah menolongnya?” Yama buru-buru mendekati mereka bertiga. Namun mereka tidak bergeming, bahkan seperti tidak menyadari kehadirannya.

Jengkel ucapannya tidak mendapat direspon, Yama mencengkeram bahu Andi dan Dinda, memaksa mereka menyingkir agar ia bisa melihat apa yang mereka lihat. Hasilnya Yama tersentak kaget, bahkan Vivandak yang mengintip di balik bahunyapun sampai  bergumam tidak percaya.

Sheila berdiri gemetar di sebelah tubuh sang paman yang terbujur kaku dengan posisi telungkup di depan salah satu lemari bawah kitchen set. Punggungnya dipenuhi darah dari lubang bekas tikaman pisau yang sekarang tengah dipegang oleh Sheila yang hampir menangis.     

“She… Sheila, ke… kenapa kau melakukan ini?” gagap Bara.


BERSAMBUNG

0 komentar: