Atarantis terang benderang oleh siraman
cahaya matahari yang sudah mulai tinggi. Setiap bagian dari kota terbesar kedua
di Indonesia itu sibuk seperti biasanya, dihias oleh hiruk-pikuk khas kota besar yang penduduknya larut
dalam aktivitas masing-masing. Meskipun begitu kota ini ramah, nyaman dan
bersih. Tingkat polusi di Atarantis jauh lebih rendah dibandingkan yang bisa
lembaga manapun catat dari kota besar lain di Indonesia. Kemacetanpun menjadi
hal yang jarang ditemui karena sebagian besar penduduknya lebih suka berjalan kaki
dan menggunakan alat transportasi yang telah disediakan pemerintah kota
dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi. Ini dikarenakan trotoar di
Atarantis mampu menampung enam
hingga tujuh orang dewasa yang berjalan berjejeran dengan
aman. Sementara moda transportasinya yang lengkap, mulai dari Busway sampai
Monorel, semuanya bertarif murah.
Begitulah, hidup di Atarantis yang damai dan teratur merupakan anugerah bagi sebagian besar penduduknya tetapi menjadi hal yang membosankan bagi beberapa orang, Yama Sanjaya salah satunya. Tumbuh besar dan hidup sendirian selama bertahun-tahun di Atarantis yang damai dengan penduduknya yang taat peraturan membuat cowok berkacamata dengan tinggi badan hanya setara telinga rata-rata teman-temannya itu merasa bosan bukan main.
Yama tinggal sendirian di rumah sederhana di pinggiran kota. Ibunya meninggal dalam kecelakaan yang juga hampir merenggut nyawanya 5 tahun lalu. Ayahnya wafat karena sebab yang tidak Yama ingat saat dia berumur 10 tahun. Sebenarnya Yama masih memiliki keluarga, sang kakak, Brahma, namun dia pergi setelah menyalahkannya atas kematian ibu mereka.
Kesendirian itu
membuatnya tidak berkutik. Yama mulai menata hidup pada pola yang bentuknya
tidak dapat berubah dan terus terjebak di dalamya; dia menjual bakat melukisnya,
lalu membelanjakan uang yang dihasilkan untuk kebutuhan sehari-hari sembari
berhemat dan menyisihkannya sedikit untuk menambah tabungan orang tuanya yang
tidak seberapa. Berikutnya dia harus memikirkan cara untuk mendapatkan
pelanggan baru sementara persediaan cat minyaknya juga perlu diisi. Hal itu dilakukannya diantara
aktivitas yang sama setiap hari; bangun pagi, memasak sarapan, mandi, memakan
sarapannya dan melewati rute yang sama untuk sampai ke kampus Udyanasapta,
tempat dia berkuliah. Sesampainya di kampus dia dihadapkan dengan kegiatan
perkuliahan yang sama, orang-orang yang sama, mahasiswa yang sama, dosen yang
sama, penjaga kantin yang sama dan
banyak hal lain yang sama. Pola itu Yama jalani bertahun-tahun sampai akhirnya
kebosanan yang nyaris menjadi akut merasuk dalam hingga
membuat otaknya kacau, membuatnya berpikir untuk tidak repot-repot berpura-pura peduli terhadap hal-hal
monoton yang ada di sekelilingnya.
Yama berhasil masuk ke Udyanasapta setelah
mendapat beasiswa karena dianggap berbakat. Nyatanya dia memang berbakat,
itulah yang akhirnya membuat dia menjadi mahasiswa seni rupa yang disegani dan
terkenal. Namun menjadi orang yang berbakat dan terkenal tidak membuatnya memiliki
banyak teman.
Tidak, tidak, Yama bukan mahasiswa tertindas yang kakinya selalu dijegal setiap kali berjalan di kantin. Dia juga bukan mahasiswa penyakitan atau dianggap cupu karena suka membaca buku. Dia tidak dijauhi karena penampilan, sebab Yama sebenarnya cukup keren untuk seorang pemuda pendek. Yama dijauhi karena dia tidak begitu ramah. Dia lebih sering terlihat diam, membisu dengan wajah kusut yang angker. Ditambah lagi ucapannya hampir selalu pedas jika didengar orang, seakan rongga mulutnya itu sudah dipenuhi saus cabai sejak lahir.
Dan
kesalahan pada mulutnya itu juga berimbas pada kehidupan sosialnya di rumah.
Sebenarnya Yama berasal dari keluarga yang menyenangkan. Ayahnya yang seorang
psikolog dan Ibunya yang seorang dosen matematika suka sekali berkeliling dan
mengobrol dengan tetangga. Mereka orang yang supel, tidak kaku dan membaur.
Sementara sang kakak adalah pemuda kalem yang murah senyum, suka pada anak
kecil dan tidak segan menyapa setiap orang yang lewat di depan pagar rumah.
Tapi entah kesalahan apa yang mereka perbuat sehingga anak laki-laki kedua di keluarga
itu lahir dengan perangai yang nyaris tidak ada bagus-bagusnya. Para tetangga
tidak menyukai Yama dan tidak sedikit yang bergunjing tentangnya. Beberapa di
antara mereka mengatakan bahwa Yama begitu angkuh hanya karena dia sedikit
lebih pintar dibanding pemuda lain di komplek, sesuatu yang bagi mereka tidak
seharusnya dibangga-banggakan sampai membuatnya mengangkat kepala sampai
jakunnya kelihatan. Bahkan beberapa yang lain berpendapat bahwa Yama adalah
produk gagal dari pasangan suami istri yang rendah hati.
Pada akhirnya, setelah semua anggota keluarga itu pergi, dan hanya menyisakan Yama seorang, rumah sederhana yang semula hangat dan dipenuhi celoteh tetangga yang berkunjung meski hanya sekedar mengobrol sebentar sembari bersandar di pagar itu menjadi muram dan tidak ramah. Tidak ada yang mau memasuki halaman rumah itu selangkahpun kecuali benar-benar terpaksa dan harus, seakan rumah itu dihuni oleh hantu galak.
Namun apa yang dilakukan hampir seluruh tetangga pada Yama tidak berlaku bagi pasangan suami istri tuan dan nyonya Badar. Pasutri itu baru pindah ke rumah di sebelah kediaman Yama kira-kira empat bulan lalu setelah pemilik sebelumnya ditemukan tewas gantung diri. Mereka pasangan yang kompak, mempunyai tingkah yang sama; sama-sama cerewet, sama-sama tukang ngobrol dan sama-sama tidak bisa diam. Nyonya Badar sering mengunjungi Yama, memberinya masakan atau kue yang hari itu dibuatnya. Dia juga sering membuatkan telur mata sapi setengah matang, menu sarapan kesukaan Yama dan mengemasnya dalam kotak bekal berwarna biru cerah dan meminta Yama membawanya ke kampus. Bahkan Yama yang sengak tidak kuasa menolak. Siapa sih yang bisa menolak permintaan seorang wanita yang menyodorkan sarapan dengan tatapan tulus seorang ibu?
Meskipun menerimanya, pada akhirnya Yama akan mencari sudut paling tak terjamah manusia di kampus untuk memakan menu sederhana itu, misalnya di belakang kamar kecil, dekat dengan pembuangan limbah, demi mempertahankan imejnya.
Empat bulan bertetangga dekat dengan pasangan hiperaktif itu selanjutnya membuat Yama tersudut dan pasrah menerima kehadiran dan perhatian mereka padanya. Dia, meskipun enggan, akhirnya mengizinkan pasangan itu datang ke rumahnya setiap kali mereka mau, mengizinkan nyonya Badar mengiriminya makanan dan mengizinkan tuan Badar datang menantangnya main catur setiap malam minggu. Setidaknya, menurut Yama, dia punya kesempatan berbuat baik pada orang lain dengan menemani pasangan itu, yang kesepian karena anak semata wayang mereka tidak bisa tinggal bersama mereka karena alasan yang tidak Yama ketahui.
***
Sialnya, setelah harus pasrah mendapat tetangga baru yang agak mengganggu, ketenangan yang Yama dapatkan di hari-harinya yang dia habiskan sendirian benar-benar buyar dan hilang tak bersisa. Penyebabnya karena rumah itu kini tidak hanya dihuni satu orang. Ini bukan karena salah satu dari pasangan Tuan dan Nyonya Badar pindah ke rumah Yama dan menetap di sana, bukan, melainkan karena mahkluk jelek yang Yama temui di Mandalawangi empat hari yang lalu kini ikut tinggal bersamanya. Siapa lagi kalau bukan Vivandak.
Vivandak memang tidak sebawel penghuni rumah sebelah, namun dia sering muncul secara tiba-tiba, misal saat Yama sedang menatap cermin di kamar mandi sembari gosok gigi (Vivandak menatapnya tajam dari pojok ruangan, di antara keremangan lampu kamar mandi) atau saat Yama sedang memanaskan mesin motornya di bagasi. Vivandak juga sering muncul saat Yama sedang melukis malam-malam, membuat atmosfir ruangan menjadi tidak enak dan mencekam. Selain muncul tanpa peringatan, hobi Vivandak yang lain adalah berkeliling ruangan, melayang ke sana kemari dengan kakinya yang tinggal separuh. Itu semua membuat Yama serasa tinggal bersama arwah gentayangan.
Tetapi Vivandak menolak disebut makhluk gaib saat Yama memancingnya untuk bicara pada suatu pagi. Vivandak menjelaskan pada Yama, dengan nada tersinggung, bahwa meskipun dia dapat muncul secara tiba-tiba, menghilang, melayang, bahkan terbang meski tidak setinggi dan secepat burung dan bicara tanpa menampakkan wujudnya, dia sama sekali berbeda dari hantu, jin atau sejenisnya.
“Aku entitas yang berbeda. Jangan samakan aku dengan mereka. Aku makhluk yang lebih bermartabat.” Ucapnya sombong.
“Sayang sekali.” Yama menimpali. Dia agak kecewa Vivandak bukan sejenis makhluk halus “Kalau begitu apa kau tidak bisa menembus tembok? Apa kau tidak bisa merasuki orang?”
“Jangan bodoh!” sungut Vivandak “Mana bisa aku melakukan itu. Bukannya sudah kubilang? Aku bukan makhluk gaib! Aku berbeda dari mereka, meskipun, aku tidak terlihat…”
“Apa? Tidak terlihat?” Yama memastikan pendengarannya.
“Maksudku, tidak ada orang lain yang bisa melihatku. Hanya kau yang bisa.”
Yama mengernyit. Setengah menit yang lalu Vivandak dengan lantang dan angkuh berkata bahwa dia lebih bermartabat dibandingkan makhluk-makhluk gaib dan menolak disamakan dengan mereka sehingga nyaris terlihat sama congkaknya seperti anak ingusan yang baru saja mendapat warisan banyak. Lalu mendadak nada bicaranya langsung merendah nyaris tak terdengar, seolah-olah fakta bahwa hanya Yamalah satu-satunya orang yang bisa melihatnya adalah sebuah aib memalukan.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh tepat, matahari di luar semakin terik, membuat Yama yang tidak memiliki kegiatan apa-apa, termasuk pergi ke kampus, karena ini hari minggu, malas untuk keluar rumah. Dia memilih untuk duduk santai di ruang tengah, sambil membaca koran kemarin, tertarik dengan berita tewasnya seorang pelukis karena kecelakaan lalu lintas.
“Membosankan sekali.”
Itu suara Vivandak. Dia muncul, lagi-lagi, secara tiba-tiba. Yama tersedak saking kagetnya, dia hampir merosot jatuh dari sofanya.
“Membosankan sekali.” Vivandak mengulang perkataannya “Lihat betapa tidak bergunanya dirimu. Murung, berantakan, membaca koran usang…”
“Apa pedulimu?” kata Yama ketus sambil membetulkan posisi duduknya.
“Aku tidak peduli dengan urusanmu, aku hanya peduli tentang ketidakpedulianmu, tentang ketidakpekaanmu, tentang dirimu yang terlalu bodoh hingga tidak menyadari kesalahan fatal apa yang telah kau perbuat dan tidak merasa bersalah sedikitpun karenanya.” ucap Vivandak.
“Aku tidak mengerti.” Sahut Yama enggan, masih membaca koran.
“Raksas Soul.” Geram Vivandak.
Yama mengangkat wajahnya dari koran, menatap Vivandak sebentar, lalu terkekeh “Ya Tuhan. Aku pikir kau sudah melupakannya. Ternyata kau tidak hanya jelek ya, tapi juga pendendam.”
Yama melipat korannya dan meletakkannya di meja, siap berdiskusi “Dengar ya. Benda yang kau sebut Samvid itu bukan gadget yang jika kehilangan baterai bisa kuganti dengan membeli di service center. Benda itu butuh energi dari zat yang tidak dijual di toko manapun di negara ini, zat yang mustahil aku dapatkan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Jadi kau hanya akan diam saja?” tanya Vivandak.
“Lantas aku harus melakukan apa?” Yama balik bertanya “Begini saja, jika kau tidak suka kau bisa mengambil Samael Samvid itu, aku simpan di laci meja belajarku, kau bisa mencari orang lain yang lebih bisa diandalkan dibandingkan aku dan berikan alat itu padanya.”
Kali ini giliran Vivandak yang terkekeh “Aku pikir kau pintar. Ternyata tidak.” Dan Vivandak tertawa “Samael Samvid tidak bisa berpindah tangan sesederhana yang kau pikirkan. Samael Samvid dapat bekerja karena kekuatan Samael Soul yang aktif setelah dipicu oleh Raksas Soul. Sementara Samael Soul itu, jika masuk ke tubuh manusia, akan bersemayam dalam jantung dan tidak akan pergi kemanapun sampai jantung itu berhenti berdetak. Aku bisa saja mencari orang lain di luar sana dan memintanya menjadi Samael, menggantikanmu, tapi dari penjelasanku tadi kau seharusnya tahu, apa yang harus kulakukan sebelum mencari penggantimu.”
Yama menelan ludah. Ngeri “Kau bercanda kan?”
Terdengar ketukan keras di pintu depan. Yama dan Vivandak saling pandang sebentar sebelum Yama bangkit dan bergerak cepat menuju ruang tamu untuk membuka pintu.
“Ah, Nyonya, maksudku, Bibi Badar.”
Oh ya, satu hal yang terlupakan, pasangan Tuan dan Nyonya Badar meminta Yama memanggil mereka dengan sebutan Paman dan Bibi, untuk membuat mereka bertiga makin akrab. Dan Yama yang canggung masih sering salah panggil, padahal kesepakatan itu sudah berjalan hampir satu bulan.
“Ada pemuda tampan yang mencarimu. Dia berdiri di depan pintu sambil memencet bel selama lima menit, tapi kau tidak keluar juga.” Kata Bibi Badar.
Yama memiringkan kepalanya melewati sisi kepala Bibi Badar, melihat ke arah pagar. Di sana Bara sedang berbicara dengan Paman Badar. Mereka kelihatan akrab sekali.
“Yama, kenapa kau tidak bilang padaku kalau Senpai Teddy adalah tetanggamu?” seru Bara dari halaman. Dia berpaling pada Paman Badar dan mohon pamit. Lalu setelah Bara berjalan menuju teras, Paman Badar melambai-lambaikan tangannya ke arah punggung Bara.
“Jadi kau salah satu murid suamiku?” tanya Bibi Badar pada Bara yang baru saja sampai ke teras.
Bara mengangguk, senyumnya tersungging lebar “Suami Anda karakteka hebat. Saya beruntung sekali bisa belajar darinya.”
“Oh kau manis sekali.” Kata Bibi Badar senang sembari mencolek dagu Bara “Kalau begitu aku masuk ke rumah dulu, tadi aku dan Teddy sedang membuat Pai apel, sudah lama sekali kami tidak berduaan di dapur sambil memasak. Menyenangkan sekali rasanya meracik makanan bersama orang yang kita cintai, kapan-kapan kalian harus melakukannya bersama pasangan kalian, itu akan mempererat hubungan…”
“Baiklah Bibi, terima kasih.” Ucap Yama keras-keras.
Dia lalu menyeret Bara ke dalam rumah.
***
“Kenapa lama sekali keluarnya? Kakiku hampir kesemutan.” Kata Bara.
“Belku rusak.” Jawab Yama singkat “Duduklah.”
Bara segera duduk. Sesaat dia memandang berkeliling.
“Ruangan ini memang agak berantakan. Dan, aku tidak punya teh atau suguhan yang lain.” Kata Yama.
“Itu bukan sambutan yang menyenangkan untuk seorang teman yang sudah lama tidak berkunjung.” Kata Bara, dahinya berkerut.
“Kebetulan sekali kau kemari.” Yama mengabaikan ucapan Bara “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Tentang Sari, bagaimana perkembangan pengejarannya? Apa kau sudah mendengar kabar terbaru?”
Kejadian di Villa Tanujaya sudah berlalu seminggu. Yama dan yang lain dibuat sangat bingung sekaligus ketakutan karena selain dihadapkan dengan kasus pembunuhan yang disamarkan dengan aksi bunuh diri palsu, mereka juga harus menghadapi Kurgana. Mereka berenam akhirnya sepakat untuk menutupi keberadaan Kurgana beserta fakta bahwa pelaku pembunuhan sepekan yang lalu adalah Asep yang notabene telah lenyap tergantikan oleh monster itu. Bagaimanapun juga, polisi tidak akan percaya pada ucapan enam anak muda yang berceracau soal monster tanpa adanya bukti. Alhasil, kesalahan ditimpakan pada Sari, yang juga punya andil besar pada kasus itu. Untungnya dugaan Yama benar, sidik jari Sari menempel pada ujung tali dan sandaran kursi sehingga wanita itu ditetapkan menjadi tersangka.
“Samudra bilang padaku bahwa Sari masih buron. Polisi belum berhasil menemukannya bahkan saat mereka mencarinya di tempat asalnya. Rumah keluarganya kosong. Kemungkinan Sari meminta semua keluarganya mengungsi sementara dia lari ke tempat lain.” Ujar Bara “Dia bukan pembantu biasa. Dia memang ceroboh meninggalkan sidik jari, tapi dia cukup lihai bersembunyi.”
“Lalu.” Kata Yama lambat-lambat “Untuk apa kau datang kemari?”
“Aku kemari untuk menyampaikan undangan. Undangan dari Samudra. Dia bilang, besok malam, Kakeknya mengundang semua anggota tim inti Sathriyapala untuk makan malam. Beliau ingin memberi selamat karena kita berhasil mendaki lagi.”
“Kenapa bukan Samudra yang kemari? Kenapa kau?” tanya Yama.
“Karena aku yang memintanya.” Sahut Bara “Karena selain undangan dari Samudra, ada undangan lain yang akan aku sampaikan.”
Yama diam. Dia menunggu Bara melanjutkan perkataannya.
“Temanku ingin bertemu denganmu. Sheila Anabelle, kau kenal dia?”
“Tidak.” Jawab Yama.
“Tidak mungkin. Dia penyanyi yang sedang naik daun. Dia sangat terkenal akhir-akhir ini, tidak mungkin kau tidak tahu.”
“Ya, sebenarnya aku pernah melihatnya beberapa kali di TV.” Yama mengaku “Ada perlu apa dia denganku?”
“Dia butuh pelukis. Sebentar lagi dia akan membuat video klip terbaru. Video klip itu akan memakai 100 lukisan dirinya sebagai latar belakang. Sudah ada 99 lukisan, sayangnya pelukis yang bertanggung jawab tewas dalam kecelakaan mobil. Sheila lantas meminta bantuanku untuk mencarikan pelukis baru dan aku merekomendasikanmu. Jadi tugasmu adalah menyelesaikan 1 lukisan lagi. Lusa Sheila ada di rumah, dia baru menyelesaikan tur, jika kau bersedia aku akan mengajakmu ke sana.” Ujar Bara “Bagaimana? Kau tertarik?”
Yama pura-pura mempertimbangkan tawaran Bara. Dia tidak akan begitu saja menerima tawaran apapun dengan mudah, tidak jika tawaran itu keluar dari mulut Bara. Maka dia terdiam, membiarkan Bara menatapnya, dia ingin membuat Bara memohon.
“Bagaimana, ya?” gumam Yama, nada bicaranya seperti orang yang sedang menghadapi dilema.
“Tidak apa-apa jika kau keberatan. Aku bisa mencari pelukis lain. Lagipula kau tidak berbakat-berbakat amat, lukisanmu juga tidak bagus.” Kata Bara spontan. Dia sudah bersiap untuk berdiri saat Yama buru-buru mencegahnya.
“Baiklah, baiklah.” Gerutu Yama, kesal karena Bara tidak terpancing “Aku bersedia.”
***
Keesokan harinya tepat pukul enam sore semua anggota tim inti Sathriyapala (minus Arya yang tidak bisa ikut karena ada kesibukan yang tidak bisa dia tinggalkan) berangkat menggunakan mobil Samudra menuju kediaman tokoh tertua keluarga Tanujaya.
Sebagai pemilik perusahaan besar, Sansudra Tanujaya, kakek Samudra dan Saras, memilih tinggal di rumahnya sendiri, jauh dari anak-anak dan cucu-cucunya. Dia tinggal di sebuah mansion di pinggiran kota, berkilo-kilometer jauhnya dari pusat kesibukan Atarantis. Di tengah perjalanan Samudra bercerita bahwa sang kakek sangat menyukai ketenangan, dia ingin menikmati masa tuanya setelah pensiun, menikmati hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
Kediaman Sansudra Tanujaya yang didominasi warna putih terlihat bak mutiara di antara langit yang mulai gelap. Bangunannya dikelilingi kebun rindang dan taman-taman yang luas sehingga jika dilihat dari atas akan terlihat seperti rumah yang dikepung hutan mini. Yama dan kawan-kawannya harus melewati deretan pohon yang dipagari semak hias dengan berjalan kaki sebelum sampai ke teras dan itu butuh waktu hampir dua puluh menit. Ini seperti tur, tapi jika harus melakukannya setiap hari Yama tidak akan mau, apalagi siapapun dilarang menggunakan kendaraan apapun jika masuk area ini. Seorang Sekuriti yang menemani mereka mengatakan peraturan itu dibuat agar area taman yang ada bisa dinikmati secara maksimal.
Selanjutnya mereka langsung dibawa ke sayap kiri bangunan, di sana ada ruang makan khusus, tempat Sansudra Tanujaya menjamu semua tamu-tamunya. Ruangan itu juga berwarna putih, dekorasinya mewah, bahkan terlalu mewah untuk sebuah ruang makan. Di tengah ruangan ada meja persegi panjang penuh makanan dengan enam kursi pada masing-masing sisi. Sang tuan rumah sudah menunggu mereka di sana, duduk di ujung meja dengan senyum sejuk di wajah tuanya yang bersahaja, bersebelahan dengan pengawalnya berpakaian lengkap dan sebuah kursi roda.
“Selamat datang, selamat datang.” Sapa Sansudra ramah “Silakan duduk, jangan sungkan.”
Mereka berlima segera memilih kursi masing-masing. Bara dan Yama duduk di sisi kanan dan kiri Saras sedangkan Samudra duduk di sisi lain meja, bersebelahan dengan Pertiwi.
“Maaf kek, kita agak terlambat.” Kata Samudra.
“Tidak perlu dipikirkan. Ini bukan rapat perusahaan atau semacamnya, kita berkumpul di sini sebagai keluarga, jadi santai saja, ok?” kata Sansudra.
Senyum lebar orang tua itu terus menghiasi wajahnya yang hampir dipenuhi kerutan. Yama berpikir, melihat tingkah Sansudra yang begitu santai dan ramah, pastilah saat muda perangainya sama seperti Samudra. Tapi apa dulu dia juga sebodoh cucunya itu?
“Aku senang kalian datang kemari. Akhir-akhir ini rumah ini terasa sepi, aku jadi merindukan suara cucu-cucuku. Kebetulan sekali kalian baru saja menoreh prestasi, jadi aku undang kalian kemari, untuk memberi ucapan selamat, sekaligus memancing dua cucu kesayanganku agar datang menemui kakeknya.” Ujar Sansudra ceria.
Mendengar itu Samudra menunduk malu, namun Yama lihat reaksi yang Saras tunjukkan justru sebaliknya. Dia tetap menegakkan kepalanya, tetapi alih-alih menatap wajah sang kakek, dia malah memandang berkeliling, seperti orang yang sedang tidak ingin diajak bicara.
“Sudah
lama sekali aku tidak melihatmu, Bara. Kau terlihat lebih tinggi dan kuat.
Bagaimana kabar orang tuamu? Bagaimana kabar perusahaan mereka?” tanya Sansudra
pada Bara.
“Kabar mereka baik, kek. Begitu juga dengan perusahaan mereka. Maaf saya sudah jarang berkunjung.” Ucap Bara.
“Tidak
apa-apa, aku tahu belakangan ini kau sibuk dengan berbagai aktivitas, itu jauh
lebih baik.” Kata Sansudra, kemudian pandangannya teralih pada Pertiwi “Kau
pasti Pertiwi. Mungkin kau sudah lupa, kita pernah bertemu saat kau masih
kecil. Aku adalah sahabat kakekmu. Kami bersahabat sejak kecil.”
“Benarkah?”
tanya Pertiwi.
Sansudra
mengangguk “Almarhum kakekmu itu orang baik, dia seorang jenderal yang sangat
tegas dan teman yang setia.”
Mendadak
mata Pertiwi menjadi sayu. Perbincangan soal kakeknya itu rupanya membuat dia
menjadi sedih “Benar, dia orang yang sangat tegas dan juga kakek yang paling
sempurna di dunia.”
“Hei
jangan bersedih begitu. Kau terlihat sangat cantik jika ceria. Sepertinya aku
harus membeberkan beberapa curhatan Samudra tentangmu agar kau tersenyum lagi.”
Goda Sansudra.
“Kakek!”
ucap Samudra buru-buru. Wajahnya merona merah. Sansudra lalu tertawa
terbahak-bahak.
Itu
kalimat gombal yang terdengar familiar di telinga Yama. Tidak diragukan lagi, Sansudra
ini adalah versi keriput Samudra. Mereka sama-sama tukang rayu.
“Dan
Saras. Akhirnya kau datang mengunjungiku, aku senang sekali. Aku harap akan ada
kunjungan-kunjungan berikutnya setelah malam ini. Aku tidak bisa mengunjungimu
dan ibumu, kau tahu sendiri kan bagaimana keadaan kakekmu ini?”
Saras
kembali membuang muka, meskipun tidak sejauh sebelumnya tetapi wajah muramnya
masih bertahan, bahkan terlihat lebih buruk. Dia nyaris seseram Vivandak yang
muncul di antara dia dan Yama. Apa yang sebenarnya terjadi pada Saras?
“Oh
iya, aku baru melihat pemuda di sebelah kiri Saras.” Kata Sansudra saat dia
menyadari keberadaan Yama.
“Perkenalkan,
saya Yama Sanjaya.” Kata Yama.
“Ah,
Yama Sanjaya.” Balas Sansudra dan dia memberi Yama senyum cerah.
Tiba-tiba
Saras memiringkan kepalanya ke arah Yama dan berbisik “Kakek jarang sekali
memberi senyum seperti itu pada orang lain. Kelihatannya dia menyukaimu.”
“Baiklah,
ayo kita mulai acara intinya. Mungkin kalian tidak bisa mendengar, sedari tadi
semua hidangan di meja ini menjerit-jerit meminta untuk dimakan.” Sansudra
tertawa lagi, diikuti oleh Samudra, Bara dan Pertiwi “Tapi sebelum itu ada
sajian spesial yang khusus dibuat untuk malam ini. Pelayan!”
Seorang
wanita muda berpakaian hitam putih muncul dari sisi ruangan, melangkah lincah
menuju meja dengan sebuah nampan kuningan berisi lima gelas minuman.
“Ini
adalah jus buah segar yang kubuat sendiri. Ada jus Apel, Sirsak, Jeruk, Pisang
dan Alpukat dan semua bahannya benar-benar segar.” Ujar Sansudra saat si
pelayan mulai membagi-bagikan gelas jusnya. Yama mendapat jus pisang, Bara
memperoleh jus apel, Samudra jus sirsak, sementara Saras dan Pertiwi mendapat
jus Alpukat dan jus Jeruk.
Yama
mengangkat gelas jusnya, mengernyit. Dia tidak suka pisang, apalagi jika
digiling sampai sehalus itu. Dia baru saja akan meletakkan gelasnya saat
mendadak Sansudra berseru.
“Sam!
Kenapa kau menghabiskan yang itu?”
Seluruh
ruangan kaget, termasuk Samudra yang dengan mata terbelalak memandang sang
kakek melalui gelasnya yang kini kosong.
“Maaf,
kek. Saya haus sekali jadi jusnya langsung saya habiskan. Apa ada yang salah
dengan jus ini?” tanya Samudra.
Sansudra
terlihat lemas sekali. Bahunya turun, wajahnya nyaris pucat, dia terlihat
sedang menyesali sesuatu. Aneh sekali melihat perubahan sikap yang begitu
mendadak dari pria tua itu. Hanya karena jus dia tiba-tiba berteriak pada salah
satu cucunya. Rupanya reaksi mengagetkan itu membuat penasaran, tidak hanya
Yama, tetapi juga Vivandak yang memandangi Sansudra dengan penuh minat.
***
Acara makan malam tetap berlangsung. Untungnya Sansudra adalah tuan rumah yang pandai sekali membangun suasana (sepandai dia merusaknya) jadi bentakan tadi dengan mudahnya terlupakan dan semua orang makan dengan suasana hati yang gembira.
Seusai
makan malam, Sansudra pamit untuk pergi ke kamarnya dan mempersilakan mereka
berlima menikmati semua sudut mansionnya sampai puas. Samudra menyeret semua
temannya ke Gazebo besar di sayap kanan bangunan untuk menikmati soda yang
telah dia pesan. Yama memilih menghindar, alasannya sederhana, karena
dirombongan ini dia satu-satunya yang tidak punya pasangan, kecuali Vivandak
adalah wanita dan bisa dilihat orang lain. Dia tidak mau melihat Saras
mengobrol mesra dengan Bara di salah satu sisi gazebo sementara di sisi satunya
ada Samudra yang mati-matian merayu Pertiwi. Yama jadi rindu dengan paman Badar
yang selalu kalah main catur darinya.
Yama
memilih jalan-jalan memutari Mansion, bersama Vivandak yang diam. Dia memasang
mode waspada tingkat tinggi, karena siapa tahu Vivandak tiba-tiba ingin
membunuhnya untuk mengambil Samael Soul yang bersemayam di jantungnya.
“Kau
seperti paranoid.” Vivandak memulai pembicaraan.
“Aku
sedang jalan-jalan malam dengan makhluk jelek yang bisa saja menikamku dari
belakang, wajar jika aku waspada.” Kata Yama.
“Jadi
kau pikir aku benar-benar akan membunuhmu?” tanya Vivandak.
“Apa
kau punya alasan untuk tidak melakukannya?” tanya Yama.
Vivandak
terkekeh keras. Untung dia tidak kelihatan, jadi Yama pikir kekehannya pun
mungkin tidak akan terdengar “Jika aku mau aku sudah menghabisimu dari tadi,
tidak ada yang bisa melihatku, jadi aku bisa menyelinap ke dapur, mengambil
pisau, kembali ke ruang makan, mengendap-endap ke belakang kursimu dan membuat
kepalamu bocor…”
“Diam!”
bisik Yama.
Ada
suara kemeresak di dekat mereka. Asalnya dari semak-semak di depan mereka, dari
arah taman. Yama melangkah hati-hati menuju ke arah datangnya suara sementara
Vivandak mengikutinya.
“Tidak
mungkin!” kata Yama.
Suara
kemeresak itu berasal dari Kurgana yang berjalan membelah semak. Dia bergerak
menjauhi Mansion dengan santainya. Yama bimbang antara lari atau mencari tempat
persembunyian untuk mengawasi gerak-gerik makhluk itu lebih lanjut. Terlambat,
Kurgana menyadari keberadaannya setelah dia mengendus-endus udara. Dan yang
dilakukan makhluk itu sama seperti saat di Villa; Kabur. Kurgana lari menjauh,
ke arah yang berbeda. Yama terpancing, dia lalu mengejar, menembus semak dan
pepohonan.
Yama
tidak tahu untuk apa dia mengejar, yang jelas saat dirinya dan Vivandak sampai
ke sisi lain Mansion mereka kehilangan jejak Kurgana. Terengah karena terlalu
kencang berlari, Yama menepi ke koridor di tepi taman. Di sana dia tidak
sengaja mendengar suara marah-marah Sansudra. Yama merapat ke sebuah pilar,
sempat kaget sebentar mengetahui Vivandak sudah tidak ada, lalu mengendap-endap
di rerimbunan Bougenville, mendekati tempat Sansudra mengomel.
“…
Aku masih tidak mengerti kenapa kau begitu teledor, padahal aku sudah memberi
instruksi dengan jelas berkali-kali.”
Yama
mengintip, Sansudra duduk di kursi rodanya, ditemani pengawalnya, sedang
membentak seorang gadis muda yang merupakan pelayan pembawa nampan jus. Wajah
gadis itu memerah, dia hampir menangis.
“Maafkan
saya tuan, maafkan saya.” Rintih gadis itu.
“Sudahlah,
semuanya sudah terjadi. Kembali ke ruanganmu!” kata Sansudra.
Saat
si gadis pelayan pergi dengan terisak, Yama keluar dari persembunyiannya. Sansudra
yang menyadari kedatangannya menatapnya sebentar, lalu tersenyum lebar.
“Yama
Sanjaya.” Ucapnya.
“Maaf,
tadi saya sedang berjalan-jalan dan tidak sengaja mendengar percakapan tuan.”
Kata Yama.
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa.” Kata Sansudra “Jangan terlalu formal, semua teman
cucuku sudah kuanggap cucuku juga, jadi panggil aku kakek.”
“B…
baik, kakek.” Kata Yama.
Sansudra
tersenyum senang “Beberapa kali Sam bercerita tentangmu. Katanya kau sangat
pintar dan berbakat. Kau tidak hanya bisa membuat lukisan yang indah, tapi juga
bisa menyusun puzzle rumit dan menyelesaikan kubik dalam waktu singkat.”
“Semua
orang bisa melakukan itu. Hanya saja untuk mengaplikasikan teorinya saat
praktek dengan sempurna butuh volume otak yang lebih besar dibanding rata-rata
remaja jaman sekarang.” Kata Yama.
Sansudra
tertawa “Aku suka pemuda ini. Kau punya gaya tersendiri saat menyindir. Samudra
mengirim beberapa teka-teki padaku tempo hari, teka-teki yang katanya dia minta
kau untuk memecahkannya. Tapi bukannya membantunya sampai akhir, kau malah
kabur.”
“Maafkan
saya.” Ucap Yama.
“Tidak
perlu minta maaf. Aku tahu kenapa kau melakukan itu. ‘Aku Tidak Mau’, bukankah
itu yang ingin disampaikan Pertiwi lewat teka-tekinya? Itu hanya pesan
tersembunyi yang ingin dia sampaikan padamu, semacam sinyal SOS. Jadi jika saat
itu kau kabur, itu memang hal yang harus kau lakukan.”
Yama
tidak menyangka kakek tua ini tahu isi teka-teki yang Pertiwi buat dan maksud
di dalamnya. Apa dia benar-benar pintar? Atau jangan-jangan dia menyuruh anak
buahnya untuk begadang semalaman memecahkan teka-teki itu agar terlihat keren
di depan Yama?
“Apa
Anda memberitahu Sam maksud dari teka-teki itu?” tanya Yama.
Sansudra
menggeleng “Aku tidak ingin mengkhianati dua otak brilian milik si pembuat dan si
pemecah rahasia teka-teki itu. Biarlah sinyal SOS itu berperan sesuai dengan
keinginan pembuatnya. Nah, nikmatilah malam ini. Katakan pada Sam, jika ingin
pulang tidak perlu pamit. Senang bertemu denganmu, Yama Sanjaya.”
Si
pengawal memutar kursi roda Sansudra ke arah berlawanan. Mereka berdua pergi
meninggalkan Yama. Vivandak terlihat melayang buru-buru dari arah taman,
sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
“Yama,
Kurgana menghilang.”
“Apa?”
kata Yama. Dia segera menutup mulutnya karena sadar suaranya terlalu keras.
Untungnya Sansudra dan pengawalnya sudah cukup jauh untuk mendengar dengan
jelas suaranya. Dia lalu mengulang ucapannya, dengan berbisik “Apa?”
“Kurgana
menghilang.” Vivandak juga mengulang kalimatnya “Aku sudah menyusuri hampir
setiap sudut taman di tempat ini, tapi aku tidak menemukannya.”
“Ada
apa ini? Awalnya bentakan tuan rumah karena jus, sekarang munculnya Kurgana.”
Gerutu Yama.
Kurgana
muncul dan terlihat berjalan santai di taman Mansion Tanujaya. Tidak mungkin
dia datang hanya untuk jalan-jalan. Yama memutar otaknya, apa Kurgana masih
mengincar nyawa teman-temannya? Bagaimana Raksas itu mengetahui keberadaan
mereka? Atau malah jangan-jangan dia mengincar nyawa Sansudra?
BERSAMBUNG
0 komentar: