“Ada
apa? Apa yang terjadi?” Arya baru saja muncul bersama Bara. Mereka tidak kalah
kagetnya saat melihat jazad Hasan yang menggantung di pohon.
“Kalian,
cepat turunkan tubuh pak Hasan.” Pinta Saras pada Bara dan Arya. Mereka berdua
mengangguk, lalu berjalan menuju tepi kolam renang, diikuti oleh Samudra. Tanpa
mereka sadari Yama telah terlebih dahulu pergi mendekati tubuh kaku Hasan.
Yama
mengamati mayat itu. Dugaannya tidak meleset, tali yang sekarang menjerat leher
Hasan adalah tali yang sama seperti tali yang ada di tempat jemuran. Dengan
begitu sudah dapat dipastikan itu adalah tali yang hilang.
“Kenapa
dia melakukan ini? Kenapa harus bunuh diri? Seharusnya jika ada masalah dia
bisa mendiskusikannya denganku, siapa tahu aku bisa membantunya.” Ratap
Samudra.
“Apa
akhir-akhir ini dia bersikap aneh?” tanya Arya pada Samudra.
“Mana kutahu, aku baru dua hari di sini, mana mungkin bisa menangkap kejanggalan sikapnya. Tapi dia menyembunyikan tangga di pos satpam. Dan tali itu, tali itu kemarin aku temukan masih terpasang dengan kendur di tempat jemuran…”
“Mana kutahu, aku baru dua hari di sini, mana mungkin bisa menangkap kejanggalan sikapnya. Tapi dia menyembunyikan tangga di pos satpam. Dan tali itu, tali itu kemarin aku temukan masih terpasang dengan kendur di tempat jemuran…”
“Dan
tali-tali jemuran itu terpasang lebih tinggi dari sebelumnya.” Yama menyela.
“Ya,
benar sekali, aku juga merasa begitu.” Kata Samudra.
“Tali-tali itu memang di pasang empat puluh senti lebih tinggi dari posisi semula. Seseorang memindahkan pasak-pasak tempat tali-tali itu terikat lalu mengendurkan dua baris di antaranya.” Ujar Yama.
“Tali-tali itu memang di pasang empat puluh senti lebih tinggi dari posisi semula. Seseorang memindahkan pasak-pasak tempat tali-tali itu terikat lalu mengendurkan dua baris di antaranya.” Ujar Yama.
“Apa
kau mau bilang pak Hasan yang meninggikan pasak-pasak itu, mengendurkan
talinya, lalu menyembunyikan tangga agar tidak ada orang lain yang bisa
mengencangkan kembali tali-tali yang sudah dia kendurkan supaya dia bisa lebih
mudah melepaskannya dan menggunakannya untuk… mengakhiri hidupnya.” Bara
menarik kesimpulan.
“Analisa
yang bagus.” Ucap Yama asal, tadi dia tidak sepenuhnya mendengarkan perkataan
Bara karena sibuk mengamati kursi yang tergeletak dengan sandaran kursi
menghadap ke atas, menempel pada kaki mayat Hasan. Mengabaikan Samudra yang
bergerak-gerak gelisah, seakan ingin berteriak agar tubuh Hasan segera
diturunkan, Yama memungut daun di tanah dan menegakkan kembali kursi yang telah
roboh itu. Matanya tiba-tiba terbelalak.
“Jadi
sudah jelas kan? Pak Hasan bunuh diri. Ayo kita turunkan jasadnya.” Kata Bara
tidak sabar.
“Tunggu!
Apa kalian tidak menyadari ada yang aneh di sini?” tanya Yama, dia memandang
wajah ketiga temannya bergantian. Bara, Samudra dan Arya saling bertukar
pandang bingung.
“Ayolah
Yama, ini bukan saatnya untuk main-main.” Ucap Samudra kesal.
“Kau
pikir aku sedang main-main?” sungut Yama, dia lalu bergeser sedikit lalu
menunjuk kursi di bawah mayat yang telah dia kembalikan ke posisi semula “Lihat
kursi itu! Oh ayolah gunakan otak dan mata kalian dengan benar! Lihat
posisinya!”
Hanya
Arya yang menurut, dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mengamati dengan
seksama kursi itu, mencoba menemukan hal yang aneh di sana “Memangnya ada yang
aneh?”
“Ya
Tuhan!” seru Yama nyaris frustasi “Baiklah, kalian bertiga, dengarkan aku.
Perhatikan kursi ini. Mungkin sekilas tidak ada yang aneh, kursi yang
tergeletak persis di bawah mayat seperti ini bisa ditemukan pada kasus gantung
diri di manapun. Tapi coba kalian perhatikan sandara kursinya, sandaran
kursinya berada di atas!”
“Lantas
apa yang aneh?” tanya Arya, dia masih mencondongkan tubuhnya.
“Apa
yang aneh?” Yama balik bertanya “Seseorang yang gantung diri lazimnya akan
berusaha membuat kursi yang menjadi pijakannya roboh, entah dengan menendangnya,
menggunakan telapak kakinya untuk mendorong dan lain sebagainya. Logikanya,
kursi itu akan jatuh dengan sandaran di bawah, dengan kata lain kursi itu akan
jatuh ke belakang. Bandingkan dengan kursi ini, benda ini jatuh dengan sandaran
menghadap ke atas, dengan kata lain kursi ini jatuh ke depan. Bagaimana mungkin
ini bisa terjadi? Seharusnya kursi ini tidak roboh dengan sukses karena
sandarannya akan menyentuh bagian belakang kaki mayat, atau bahkan kembali ke
posisi normal karena terhalang oleh kaki.”
Yama
memungut daun lagi, lalu menyentuh sandaran kursi itu “Ada satu hal lagi yang
aneh. Aku harap kalian paham.”
Dan
Yama menegakkan kembali kursi itu. Ketiga temannya bergumam bersamaan, mata
mereka sama-sama melotot tanda kaget. Sepertinya kali ini mereka tahu
kejanggalan apa yang tengah terjadi.
“Tidak
mungkin! kaki pak Hasan bahkan tidak menyentuh alas kursinya!” kata Samudra.
Yama
mengangguk “Jarak antara alas kursi dan kaki mayat ini sekitar lima senti,
cukup jauh. Seharusnya, kaki pak Hasan bisa menyentuh alas kursi ini. Jika
tidak bagaimana dia bisa tergantung begini, kecuali…”
“Kecuali
jika seseorang mengerek tubuh pak Hasan yang sudah terjerat tali.” Bara
menimpali dengan cepat.
“Tepat
sekali Bara! Dari tadi kemana kau buang otakmu?” ejek Yama. Bara melipat kedua
tangannya di depan dada, menahan jengkel. Setelah terkekeh sebentar, Yama
melanjutkan “Kalian bisa lihat talinya. Pelaku menggulung tali ini di dahan lalu mengikatnya dengan cara menyelipkan ujungnya di
antara gulungan tali di dahan dan membuat simpul di situ. Pada kasus bunuh diri
normal, korban hanya akan mengikat tali dengan simpul biasa. Sekarang masuk
akal kenapa hanya dua baris tali jemuran yang dipakai. Dengan panjang
masing-masing yang sekitar dua meter, jika disambungkan kedua utas tali itu
sudah cukup untuk mengerek mayat pak Hasan seperti bendera.”
“Jadi,
dia dibunuh?” ucap Arya.
Yama
menjawabnya dengan anggukan.
“Ja…,
jadi pak Hasan sudah mati saat digantung?” tanya Samudra ngeri.
“Belum
dapat kupastikan.” Sahut Yama. Sekarang dia berjalan pelan mengitari jasad
Hasan, seperti berusaha mencari keanehan yang lain. Satu menit kemudian dia
berhenti dan mendekatkan hidungnya ke bagian samping tubuh Hasan, mengendusnya.
“Sam,
kau tahu apa saja isi seluruh lemari pakaian yang ada di Villa ini?” tanya Yama
tiba-tiba.
“Eh?
Uhm, entahlah, sepertinya tidak banyak. Ada beberapa jas dan kemeja ayahku yang
sengaja ditinggalkan, juga beberapa kemeja lama kakek, pakaian para pegawai…”
“Apa
ada seragam Satpam?” tanya Yama lagi.
“Setahuku
Hasan membawa seragamnya pulang. Tapi kemarin sepertinya aku melihat beberapa
setel seragam yang baru diseterika di ka…”
“Bagus!
Sekarang kita bisa turunkan mayat ini. Biar aku dan Bara yang melakukannya.
Sam, Arya, kembali ke Saras dan Pertiwi, jaga mereka.” Perintah Yama.
“Jaga
mereka?” tanya Arya.
“Jangan
banyak tanya, Lakukan saja!”
***
Setelah berhasil menurunkan jasad Hasan, Yama
dan Bara bergabung bersama rekan-rekannya yang menunggu di teras belakang. Arya
dan Samudra, meskipun belum mengerti kenapa Yama meminta mereka menjaga Saras
dan Pertiwi, tetap melakukan tugasnya dengan terus menempel di sisi kanan dan
kiri Saras. Asep masih bersama mereka, dia duduk di tepi teras, menghadap kolam
renang, sementara Pertiwi entah pergi kemana.
“Kemana
Pertiwi?” tanya Bara begitu dia sampai.
“Dia
baru saja masuk ke dalam, katanya mau menelepon Ambulance.” Jawab Saras
“Bagaimana sekarang? Aku tidak percaya pak Hasan bunuh diri di sini.”
“Dia
dibunuh.” Kata Yama singkat. Ucapannya membuat Saras bergumam ngeri “Asep.
Bukankah hari ini kau bertugas mengurus taman dan cucian?”
Asep
bangkit, lalu dengan kalem dia menjawab “Ya, mas. Itu adalah tugas saya untuk
hari ini dan kemarin.”
“Itu
artinya kau bertanggung jawab pada semua hal yang berhubungan dengan tugasmu, seperti
mesin cuci, lemari pakaian, dan lain sebagainya?” kata Yama hati-hati.
“Ya,
mas.”
“Termasuk
juga kunci lemari pakaian?”
“Ya, biasanya saya memegangnya sampai keluarga tuan datang berkunjung, namun hari ini kuncinya masih ada pada saya karena tuan Samudra tidak memintanya.” Sekali lagi Asep menjawab, masih sama kalemnya seperti sebelumnya.
“Ya, biasanya saya memegangnya sampai keluarga tuan datang berkunjung, namun hari ini kuncinya masih ada pada saya karena tuan Samudra tidak memintanya.” Sekali lagi Asep menjawab, masih sama kalemnya seperti sebelumnya.
Yama
memangguk, wajahnya agak sedikit shock
“Setelah menurunkan tubuh pak Hasan, aku dan Bara membuka seragamnya. Kami
menemukan tiga luka cakaran dalam yang sudah diperban. Pelaku tidak bisa atau
tidak sempat menghentikan pendarahan sehingga dia menutup luka itu dengan
lapisan perban yang tebal, Ya, benar, pak Hasan tewas kehabisan darah karena
luka yang sangat parah itu. Pelaku lalu mengganti seragam yang terkoyak dan
bersimbah darah dengan seragam baru. Aku mengetahuinya saat mencium bau pewangi
pakaian pada seragamnya, padahal, Asep pernah berkata padaku bahwa pak Hasan
tidak pernah mengganti seragam yang sudah dipakainya sejak pagi atau siang
meskipun harus lembur.
“Setelah
lukanya tertutup sempurna sehingga tidak meninggalkan sedikit bekas darahpun di
seragam yang baru, pelaku lalu menjerat leher pak Hasan yang telah tewas dan
mengereknya di dahan pohon beringin, lalu membuatnya terlihat seperti gantung
diri.”
Yama
melihat, tatapan keempat rekannya perlahan mulai berpindah pada Asep yang
berdiri tenang. Yama bingung, reaksi laki-laki itu jauh dari yang dia duga, dia
tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikitpun. Apakah Asep belum sadar bahwa
Yama telah menuduhnya, apakah dia tidak menyadari tatapan curiga orang-orang di
sekelilingnya? Atau dia memiliki rencana tertentu?
“Ja…,
jadi, apa dia…” Samudra menunjuk Asep, kali ini dia yang terlihat shock.
Yama
mengangguk “Ya, dia pelakunya. Tidak ada seorangpun yang bisa membuka lemari
pakaian di Villa ini dan membungkus tubuh mayat yang telah diperban dengan
seragam yang belum lama diseterika.”
Samudra
bereaksi keras atas ucapan Yama, dia buru-buru memprotes “Tapi itu konyol
sekali, menuduh Asep sebagai pembunuh hanya karena kunci lema…”
“Teman-teman!”
Pertiwi
muncul begitu saja di belakang Saras, membuat kaget semua orang. Nafasnya sama
tidak teraturnya seperti saat dia mengabarkan penemuan jazad Hasan. Hanya saja
kali ini warna kulitnya normal. Meskipun begitu kepanikan di wajahnya sama
kentaranya seperti saat dia melihat mayat.
“Teman-teman!”
lanjut Pertiwi “Aku tidak bisa menghubungi Ambulance, aku tidak bisa
menggunakan telepon di ruang tengah, ada orang yang telah memutus kabel teleponnya.
Handphoneku juga tiba-tiba hilang, jadi aku tidak bisa menghubungi siapapun.”
“Saya
tidak menyangka.” Ucap Asep pelan sembari merogoh kedua saku celananya “Hanya
karena kunci lemari saja saya langsung dituduh sebagai pembunuh.”
Dari
kedua saku celananya itu Asep mengeluarkan enam buah Handphone dan
menunjukkannya sembari tersenyum kecut.
“Itu
Handphoneku.” Kata Pertiwi.
“Dan
itu punyaku!” Samudra menimpali.
Senyum
di wajah Asep kini semakin lebar. Lalu seiring dengan melebarnya senyum itu, dia
mengayunkan kedua tangannya bersamaan, melempar enam Handphone tadi ke arah
kolam renang. Suara debur bersahutan saat keenam Handphone itu berjatuhan ke
air. Hampir bersamaan dengan itu, Asep menoleh pada Yama, tersenyum seperti
orang gila.
“Ya!
Sayalah yang melakukannya, sayalah yang membunuh Hasan. Saya memang tidak sempat
menyiapkan alibi apapun karena saya hanya mengikuti rencana Sari.”
“Rencana
Sari?” Yama terkejut.
“Benar.
Anda pikir siapa yang merencanakan pembunuhan ini? Saya?” Asep terbahak-bahak
sembari menunjuk Yama “Kalau Anda berpikir demikian itu berarti Anda tertipu.
Anda memang hebat karena dapat mengendus perbuatan saya, tetapi Anda terlalu
puas dan sombong sehingga tidak menyadari siapa dalang di balik semua ini.
“Sari
sudah merencanakan semuanya jauh-jauh hari. Dia yang mengendurkan Tali jemuran,
yang akan digunakannya untuk menjerat leher Hasan sampai mati, dia yang
menyembunyikan tangga agar tidak ada seorangpun yang bisa mengamankan tali yang
sudah dipersiapkannya sebagai senjata dan dia juga yang merencanakan semuanya
sedemikian rupa agar Anda semua menjadi saksi, melihat Hasan yang mati karena
gantung diri. Rencananya sungguh rapi, namun dia tidak memperhitungkan satu
hal.”
Asep
melangkah pelan ke depan, membuat Yama dan teman-temannya waspada dan mundur
perlahan. Arya dan Samudra membentengi Saras dan Pertiwi yang ketakutan dengan
rentangan tangan mereka seperti dua orang Bodyguard selebritis yang sedang
menghadapi fans fanatik.
“Hasan
memiliki tubuh yang besar, dia jauh lebih kuat dibandingkan Sari. Saat itu,
setelah berhasil menjerat leher Hasan dari belakang, Sari mendapat perlawanan
sengit. Keadaan berbalik, Sarilah yang menjadi bulan-bulanan dan nyaris
terbunuh. Saya yang tidak bisa membiarkan hal itu spontan membantunya. Hasanpun
berhasil kami habisi sehingga mayatnya bisa kalian lihat.”
Asep
tertawa terbahak-bahak lagi, dia sudah benar-benar kehilangan kewarasannya.
“Tapi
kenapa? Aku tidak menyangka kalian bisa sesadis itu.” Kata Samudra.
“Laki-laki
itu memang pantas mati.” Desis Asep, dia lalu menunjuk Samudra “Anda pikir kami
tidak memiliki alasan kuat untuk membunuhnya? Apa Anda tahu? Bertahun-tahun
Sari mendapatkan perlakuan tidak pantas, diperlakukan seperti wanita murahan,
dilecehkan, dihina dan dianggap rendah. Harga dirinya sebagai seorang wanita
diinjak-injak sampai ke titik paling tidak manusiawi oleh laki-laki bangsat itu,
bahkan sampai pada saat Sari bangkit untuk melawan.”
“Kenapa
dia tidak menceritakannya padaku, pada ayah, pada kami?”
“Anda
pikir itu mudah?” kali ini Asep menyela perkataan Samudra dengan cepat
“Direndahkan dalam waktu lama membuat Sari malu pada dirinya sendiri. Lagipula
seberapa berartinya Sari, saya, kami berdua, di mata keluarga Anda? Kami hanya
pekerja, kami tidak berhak mencurahkan isi hati kami, meminta sedikit waktu
dari kalian untuk mengeluh tentang masalah yang memalukan. Hak kami hanyalah
gaji bulanan, tidak lebih dari itu.”
“Itu
tidak benar, jika kalian butuh perlindungan, pasti kami berikan.” Sanggah
Samudra.
“Kami
sudah lama mencobanya, tapi apa Anda pikir ayah Anda, kakek Anda dan keluarga
Anda begitu peduli terhadap permasalahan kami saat singgah ke Villa ini? Mereka
terlalu sibuk menghibur diri sendiri karena mereka datang ke sini untuk
berlibur, bukan mampir untuk mendengar rengekan seorang pembantu.
“Karena
itu Sari melawan dengan kemampuannya sendiri. Saya tidak tega, saya tidak suka
dengan laki-laki yang dengan seenaknya menindas wanita yang lebih lemah,
apalagi wanita yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Dengan senang hati saya
akan menghabisinya. Saya beruntung, di saat tangan ini begitu ingin mengoyak
tubuh laki-laki bangsat itu, makhluk itu datang, membuat saya percaya bahwa
saya mampu, meyakinkan saya bahwa menghabisi manusia jahat seperti Hasan
bukanlah kesalahan besar tapi sebuah keharusan dan memberi saya kekuatan untuk
melakukannya.”
Asep
bergerak maju lagi. Matanya berkilat berbahaya, dihiasi seringai mengerikan,
membuatnya terlihat seperti orang lain.
“Sekarang
saya tidak bisa membiarkan kalian hidup, tidak setelah tipuan kami terbongkar.
Ponsel kalian sudah saya buang, telepon di Villa ini sudah saya sabotase, jadi
kalian tidak bisa menghubungi siapapun. Kalian juga tidak bisa pergi ke
mana-mana, kalian tidak akan bisa kabur dari sini, semua jalan keluar telah
saya tutup dan tidak akan bisa terbuka karena semua kunci, termasuk kunci
gerbang dan pintu depan yang tuan Samudra pegang telah saya telan. Jika kalian
ingin keluar, kalian harus membunuh dan merobek perut saya, tapi jika itu
bisa!”
Untuk
kesekian kalinya Asep tertawa terbahak-bahak. Tawanya makin mengerikan takkala
dengan perlahan dia menarik sebilah pisau daging dari balik bajunya. Semua
orang mundur ketakutan. Saras dan Pertiwi memekik ngeri sementara Samudra dan
Arya yang tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajah mereka masih berusaha
menlindungi dua gadis itu.
Yama
tidak tahu harus berbuat apa. Dia sendiri sangat panik melihat Asep
mengayun-ayunkan pisau daging, mengintimidasi semua orang. Dia bahkan sudah
tidak peduli lagi dengan rasa sebal yang menyerangnya saat melihat Bara kembali
berlagak sok pahlawan dengan berdiri di depan teman-temannya, berniat menjadi
tameng. Yama ingin menghentikan Asep, tapi tidak dengan cara nekat. Namun di
saat genting penuh resiko seperti sekarang ini, otaknya mendadak kusut dan
sulit untuk digunakan.
Lalu,
saat keadaan bisa menjadi lebih buruk, saat Asep sudah bersiap menggunakan
pisaunya untuk membelah kepala Bara, laki-laki itu tiba-tiba tersedak dan
terbatuk-batuk. Pisaunya masih mengacung ke atas saat dia jatuh berlutut dan
mengerang kesakitan sembari memegangi lehernya dengan tangan kiri. Dia seperti
orang yang tercekik dari belakang.
“Tidak,
jangan sekarang, ja…, jangan sekarang!” jeritnya parau “Aku masih harus
membunuh Samudra dan teman-temannya…”
Dan
Asep menjerit. Pisaunya jatuh ke lantai saat tangan kanannya mendadak gemetar
dengan hebat, seperti sedang terkena sengatan listrik bervoltase besar.
Berikutnya pemandangan mengerikan yang terjadi bahkan membuat Bara tidak mampu
menahan keinginannya untuk menjerit; tangan kanan Asep membengkak dengan begitu
tiba-tiba, membuat kulitnya terlihat akan meletus, namun alih-alih membengkak
lebih besar lagi, tangan itu kembali ke ukuran normal. Sebagai gantinya terjadi
sesuatu dengan jari-jarinya, kelingking dengan jari manis, jari tengah dengan
telunjuk, saling menumpuk dan menyatu sementara ibu jarinya perlahan memanjang.
Dari ketiga jari yang terbentuk secara ganjil itu muncul cakar panjang
mengkilat. Lima detik kemudian seluruh tubuh bagian atas Asep ditumbuhi bulu
putih setelah sebelumnya membengkak hingga baju yang dikenakannya robek. Yama
tidak bisa melihat perubahan wajah Asep setelah melihat telinga laki-laki itu
lepas tergantikan telinga runcing milik serigala karena setelah menghajar Bara
dan membuatnya terlempar ke samping kolam renang, Asep yang kesetanan
menghantam wajah Yama dan mendorongnya hingga masuk ke dalam Villa dan menabrak
pintu gudang yang berjarak enam meter dari teras.
Rasa
pusing dan sakit luar biasa pada kepala yang menyerangnya membuat Yama langsung
tidak sadarkan diri.
***
Yama
tersadar karena kombinasi rasa sakit, pusing dan nyeri yang menusuk-nusuk
ubun-ubunnya. Matanya yang mulai terbuka berkunang-kunang, sementara telinganya
berdengung. Di antara dengungan yang memenuhi rongga telinganya, sama-samar dia
bisa mendengar suara jeritan wanita dan suara parau yang menyuruhnya bangun
tepat disampingnya.
“Akhirnya
kau bangun juga, Yama. Kau ini payah sekali, terkena hantaman sekali saja sudah
tumbang.”
Jantung
Yama terasa sakit saking kagetnya. Vivandak melayang setidaknya satu meter di
atas kepala Yama, memandanginya dari sudut langit-langit dekat pintu yang dia
tabrak. Makhluk itu terlihat dua kali lebih mengerikan dibanding saat pertama
kali Yama melihatnya di Mandalawangi.
“K…,
Kau, bagaimana kau bisa ada di sini? Dan, dan bagaimana kau bisa tahu namaku?
Aku bahkan belum memperkenalkan diri.”
“Pertanyaan
yang tidak penting. Kepalamu pasti terbentur sangat keras dan mengganggu kerja
otakmu.”
Yama
menyentuh ubun-ubunnya yang sakit. Jemarinya basah oleh darah. Vivandak benar,
kepalanya terbentur keras ke pintu hingga ubun-ubunnya terluka.
“Sial…”
umpat Yama sembari meringis.
“Teman-temanmu
dalam bahaya. Tubuh bocah bernama Asep itu sudah dikuasai oleh Raksas
sepenuhnya. Sekarang dia bukan Asep lagi, melainkan Raksas kelas A bernama
Kurgana.” Ujar Vivandak yang perlahan melayang turun.
“Ra…,
Raksas?”
“Ya.”
Sahut Vivandak “Makhluk itu adalah wujud lain dari salah satu Raksas Soul yang
kau lepaskan tempo hari. Sekarang bangunlah anak manja, gunakan Samael Samvid
yang kuberikan padamu dan habisi Kurgana.”
Yama
merogoh saku celananya. Alat yang Vivandak maksud masih aman berada di dalam
sakunya “Maaf, tapi, apa alat ini dipasarkan beserta dengan buku petunjuk atau
DVD tutorial? Aku sama sekali tidak tahu bagaimana menggunakannya.”
“Tekan
tombol merah, jangan tanya tombol merah yang mana karena hanya ada satu tombol
merah pada alat itu.” Sahut Vivandak.
Yama
menurut. Ditekannya tombol merah di samping kiri layar. Tak lama sebuah
hologram kabur yang nampaknya akan membentuk sebuah alat muncul di pergelangan
tangannya, makin lama makin jelas. Alat itu terbentuk dengan sempurna
sepersekian detik kemudian. Sekilas terlihat seperti Crossbow mini yang menempel di tangan dengan sebuah slot persegi
panjang.
“Alat
apa ini?” kata Yama takjub.
“Samvid
Dathra.” Sahut Vivandak “Sekarang, masukan Samvidmu ke dalam slot. Dengan
begitu kau akan bertransformasi.”
“Tunggu
dulu, bukannya untuk bertransformasi dibutuhkan satu Raksas Soul?”
“Sudah
ada satu Raksas Soul di dalam Samvidmu, kalau tidak bagaimana kau bisa berubah
untuk pertama kali?” kata Vivandak tidak sabar “Jangan banyak bicara, lakukan
saja. Dan jangan sia-siakan satu-satunya Raksas Soul yang kau punya!”
Sekali
lagi Yama menuruti perintah Vivandak. Samael Samvid masuk dengan sempurna ke
dalam slot Samvid Dathra di pergelangan tangannya. Setelah alat itu sepenuhnya
masuk ke dalam slot, sebuah sensasi aneh mulai Yama rasakan. Suhu tubuhnya
perlahan naik, dibarengi dengan punggung tangan kanannya yang mulai tertutupi
oleh lapisan hitam. Lapisan hitam itu menjalar dengan kecepatan ekstrim, mulai
dari pergelangan tangan, lalu naik ke bahu dan melebar hampir menutupi dada,
seperti aspal yang hidup. Disaat lapisan hitam itu sudah hampir menutupi bagian
kanan tubuhnya, dia merasakan sesuatu yang menggeliat di dahinya, seperti ada
sesuatu yang memaksa keluar dari kulit. Saat Yama merabanya dia mengenali
sepasang tanduk kecil yang terus tumbuh mendesak kulit dahinya.
Yama
meringis kesakitan. Nyeri di bagian wajah dan panas di hampir seluruh bagian
tubuhnya membuatnya tidak mampu bangkit. Itu tidak seberapa, karena saat dia
pikir setengah bagian wajahnya akan hancur karena tanduk yang mulai memanjang,
jantungnya serasa berhenti mendadak karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerang.
Yama ambruk. Sesaat dia mengira akan mati karena serangan jantung.
Lalu
suhu tubuhnya kembali normal, rasa nyeri di dahinya hilang dan jantungnya
kembali berdegub. Yama mulai bisa menguasai dirinya, dia bangun, berusaha
menarik nafas sembari menggosok-gosok dahinya. Namun kelihatannya Vivandak
tidak senang melihat Yama selamat karena makhluk itu berteriak frustasi.
“Aku
tidak percaya ini. Kau gagal! Kau gagal!”
Yama
mengerjap lalu berdiri. Dia tersinggung, beberapa detik yang lalu dia hampir
kehilangan nyawa dan sekarang makhluk jelek yang baru dikenalnya berteriak
lantang seperti majikan bahwa dia gagal? Sungguh dia merasa tidak dihargai.
“Jangan
berteriak padaku!” Ucap Yama marah.
“Itu
layak untukmu!” balas Vivandak “Kau sudah membuang satu-satunya kesempatan yang
kau punya untuk bertransformasi. Kau sudah menyia-nyiakan satu Raksas Soul yang
tidak akan pernah bisa kau dapatkan lagi!”
Yama
mengabaikan Vivandak. Dia berjalan terhuyung ke arah pintu teras belakang.
“Hei!
Jangan membelakangiku saat aku sedang bicara!” teriak Vivandak “Mau kemana
kau?”
“Menyelamatkan
teman-temanku.”
***
Kekacauan
masih berkutat di halaman belakang. Saat Yama sampai di teras, pemandangan
pertama yang menarik matanya adalah Pertiwi dan Arya yang tergeletak di tepi
kolam renang. Sulit untuk memastikan apakah mereka mati atau hanya sekedar
pingsan, karena di tengah kepanikan karena melihat tubuh kedua temannya yang
tak sadarkan diri itu, otaknya yang kacau memaksa dia mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru, mencari si pembuat onar dan teman-temannya yang lain.
“Mereka
berdua hanya pingsan.” Kata Vivandak yang tahu-tahu sudah berada di antara
Pertiwi dan Arya.
Jeritan
Saras terdengar dari arah sudut halaman, di balik rimbunnya pohon mawar. Yama
bergegas menghampiri. Saras dan Samudra terlihat berjalan mundur dengan lengan
berdarah, panik dan tersudut sementara Kurgana tertawa terbahak-bahak melihat
wajah mereka berdua yang ketakutan setengah mati.
Kurgana
mengayunkan cakarnya, memotong beberapa dahan mawar untuk menakut-nakuti
mereka. Monster berkepala serigala itu kembali tertawa saat Samudra berhasil
kabur namun terjerebab di tanah karena terpeleset rumput. Kini Saras dalam
bahaya. Cakar Kurgana yang berhasil merobek kulit lengannya bisa mengoyak
bagian tubuhnya yang lain kapan saja.
Yama
terpaku. Dia juga ketakutan sedangkan dalam lubuk hatinya yang paling dalam
tidak bisa disangkal lagi dia sangat ingin menolong Saras. belum ada jalan
keluar bagus yang bisa dia temukan di saat seperti ini, tidak di saat gadis
pujaannya sedang diancam monster jelek berkuku silet. Otaknya yang berkabut
hanya memberinya saran untuk melempar Samael Samvid di genggamannya ke kepala
Kurgana. Sepertinya tidak ada ruginya, pikir Yama frustasi, toh alat itu sudah
tidak ada gunanya lagi. Itu bisa mengalihkan perhatian Kurgana dan membuatnya
mengejar Yama dan mencakar punggungnya agar Saras bisa lari…
“Cepat
tekan tombol kiri di bawah layar!” suara Vivandak mengagetkan Yama.
“Cerewet!”
Yama segera menekan tombol yang Vivandak maksud tanpa banyak berpikir lagi.
Dan
hasilnya luar biasa. Semua yang tidak bisa bergerak tiba-tiba berhenti, kecuali
Yama sendiri. Dia bisa melihat Samudra yang merangkak, tangannya yang kaku
terjulur ke arah tanaman di depannya. Dia juga melihat Saras yang sedang
berteriak sembari menutupi wajahnya dengan tangannya yang terkoyak membeku
dengan posisi nyaris jatuh. Kurgana pun tidak luput, dia mematung, tubuh dan cakarnya
yang sebentar lagi akan menghancurkan tangan Saras berhenti mematung.
“Tombol
itu berfungsi untuk menghentikan waktu selama 20 detik saja. Gunakan kesempatan
ini untuk selamatkan temanmu!” suara Vivandak terdengar lagi.
Yama
memutar kepalanya, mencari benda untuk senjata. Dia meraih pot di dekat situ,
lalu berlari secepat yang dia bisa menuju tempat Kurgana dan Saras. Dilemparnya
pot itu sekuat tenaga dengan kepala Kurgana sebagai targetnya. Benda itu hancur
berantakan saat membentur kepala Kurgana, tanah di dalamnya berhamburan dan
Kurgana menyingkir ke samping, cukup jauh dari Saras yang masih membeku.
“Kurang
ajar!” raung makhluk itu sambil menggosok-gosok sisi kepalanya yang membengkak
karena benturan pot tadi.
Kurgana
berlari kecil ke arah Yama, langkahnya penuh ancaman sementara cakarnya
berkilat-kilat seakan sedang berbicara bahwa dia ingin memotong-motong daging
manusia kurang ajar yang dengan nekatnya melempar porselen pada kepala tuannya
itu. Yama mundur, hampir berlari, kapan saja Kurgana bisa menyerganya dan
memotong-motong tubuhnya menjadi fillet.
Namun
Kurgana berhenti, berhenti begitu mendadak. Kemudian, setelah mengeluh sembari
menghentak-hentakkan kakinya beberapa kali, dia berlari lebih kencang ke arah
berlawanan, melewati Saras yang masih diam lalu melompati tembok dan
menghilang.
Vivandak
sudah ada di sebelahnya saat semua orang kembali bisa bergerak. Dia menatap ke
arah tembok, ke arah menghilangnya Kurgana sebelum menoleh pada Yama dan
menguap hilang entah ke mana.
BERSAMBUNG
Ala-ala conan nya dapet banget mas...keren!
BalasHapusJadi berharap lebih pengen baca versi komik nya...biar imajinasi ini tersalurkan. ..
BalasHapusWajah asep?
Monsternya. ...
Komiknya masih jauh, biar web novelnya banyak yg baca dulu :D
HapusKalo nyetakin dalam bentuk fisik siap order ah....semangat mas walau belum baca novel beast taruna, tapi samael saga udah keren dan wajib nyetak novelnya. ...
BalasHapusAmin, makasih mas. doain aja saya sma tim saya sehat terus dan semuanya lancar, insha Allah nanti ada novelnya :D
Hapus