SOUL 2 : Tali dan Dendam

      

      “Ya Tuhan.” Bisik Saras, dia menutup mulut dengan tangannya.
      “Ada apa? Apa yang terjadi?” Arya baru saja muncul bersama Bara. Mereka tidak kalah kagetnya saat melihat jazad Hasan yang menggantung di pohon.
      “Kalian, cepat turunkan tubuh pak Hasan.” Pinta Saras pada Bara dan Arya. Mereka berdua mengangguk, lalu berjalan menuju tepi kolam renang, diikuti oleh Samudra. Tanpa mereka sadari Yama telah terlebih dahulu pergi mendekati tubuh kaku Hasan.
      Yama mengamati mayat itu. Dugaannya tidak meleset, tali yang sekarang menjerat leher Hasan adalah tali yang sama seperti tali yang ada di tempat jemuran. Dengan begitu sudah dapat dipastikan itu adalah tali yang hilang.
      “Kenapa dia melakukan ini? Kenapa harus bunuh diri? Seharusnya jika ada masalah dia bisa mendiskusikannya denganku, siapa tahu aku bisa membantunya.” Ratap Samudra.
      “Apa akhir-akhir ini dia bersikap aneh?” tanya Arya pada Samudra.
     “Mana kutahu, aku baru dua hari di sini, mana mungkin bisa menangkap kejanggalan sikapnya. Tapi dia menyembunyikan tangga di pos satpam. Dan tali itu, tali itu kemarin aku temukan masih terpasang dengan kendur di tempat jemuran…”
      “Dan tali-tali jemuran itu terpasang lebih tinggi dari sebelumnya.” Yama menyela.
      “Ya, benar sekali, aku juga merasa begitu.” Kata Samudra.
      “Tali-tali itu memang di pasang empat puluh senti lebih tinggi dari posisi semula. Seseorang memindahkan pasak-pasak tempat tali-tali itu terikat lalu mengendurkan dua baris di antaranya.” Ujar Yama.
      “Apa kau mau bilang pak Hasan yang meninggikan pasak-pasak itu, mengendurkan talinya, lalu menyembunyikan tangga agar tidak ada orang lain yang bisa mengencangkan kembali tali-tali yang sudah dia kendurkan supaya dia bisa lebih mudah melepaskannya dan menggunakannya untuk… mengakhiri hidupnya.” Bara menarik kesimpulan.
      “Analisa yang bagus.” Ucap Yama asal, tadi dia tidak sepenuhnya mendengarkan perkataan Bara karena sibuk mengamati kursi yang tergeletak dengan sandaran kursi menghadap ke atas, menempel pada kaki mayat Hasan. Mengabaikan Samudra yang bergerak-gerak gelisah, seakan ingin berteriak agar tubuh Hasan segera diturunkan, Yama memungut daun di tanah dan menegakkan kembali kursi yang telah roboh itu. Matanya tiba-tiba terbelalak.
      “Jadi sudah jelas kan? Pak Hasan bunuh diri. Ayo kita turunkan jasadnya.” Kata Bara tidak sabar.
      “Tunggu! Apa kalian tidak menyadari ada yang aneh di sini?” tanya Yama, dia memandang wajah ketiga temannya bergantian. Bara, Samudra dan Arya saling bertukar pandang bingung.
      “Ayolah Yama, ini bukan saatnya untuk main-main.” Ucap Samudra kesal.
      “Kau pikir aku sedang main-main?” sungut Yama, dia lalu bergeser sedikit lalu menunjuk kursi di bawah mayat yang telah dia kembalikan ke posisi semula “Lihat kursi itu! Oh ayolah gunakan otak dan mata kalian dengan benar! Lihat posisinya!”
      Hanya Arya yang menurut, dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mengamati dengan seksama kursi itu, mencoba menemukan hal yang aneh di sana “Memangnya ada yang aneh?”
      “Ya Tuhan!” seru Yama nyaris frustasi “Baiklah, kalian bertiga, dengarkan aku. Perhatikan kursi ini. Mungkin sekilas tidak ada yang aneh, kursi yang tergeletak persis di bawah mayat seperti ini bisa ditemukan pada kasus gantung diri di manapun. Tapi coba kalian perhatikan sandara kursinya, sandaran kursinya berada di atas!”
      “Lantas apa yang aneh?” tanya Arya, dia masih mencondongkan tubuhnya.
      “Apa yang aneh?” Yama balik bertanya “Seseorang yang gantung diri lazimnya akan berusaha membuat kursi yang menjadi pijakannya roboh, entah dengan menendangnya, menggunakan telapak kakinya untuk mendorong dan lain sebagainya. Logikanya, kursi itu akan jatuh dengan sandaran di bawah, dengan kata lain kursi itu akan jatuh ke belakang. Bandingkan dengan kursi ini, benda ini jatuh dengan sandaran menghadap ke atas, dengan kata lain kursi ini jatuh ke depan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Seharusnya kursi ini tidak roboh dengan sukses karena sandarannya akan menyentuh bagian belakang kaki mayat, atau bahkan kembali ke posisi normal karena terhalang oleh kaki.”
      Yama memungut daun lagi, lalu menyentuh sandaran kursi itu “Ada satu hal lagi yang aneh. Aku harap kalian paham.”
      Dan Yama menegakkan kembali kursi itu. Ketiga temannya bergumam bersamaan, mata mereka sama-sama melotot tanda kaget. Sepertinya kali ini mereka tahu kejanggalan apa yang tengah terjadi.
      “Tidak mungkin! kaki pak Hasan bahkan tidak menyentuh alas kursinya!” kata Samudra.
      Yama mengangguk “Jarak antara alas kursi dan kaki mayat ini sekitar lima senti, cukup jauh. Seharusnya, kaki pak Hasan bisa menyentuh alas kursi ini. Jika tidak bagaimana dia bisa tergantung begini, kecuali…”
      “Kecuali jika seseorang mengerek tubuh pak Hasan yang sudah terjerat tali.” Bara menimpali dengan cepat.
      “Tepat sekali Bara! Dari tadi kemana kau buang otakmu?” ejek Yama. Bara melipat kedua tangannya di depan dada, menahan jengkel. Setelah terkekeh sebentar, Yama melanjutkan “Kalian bisa lihat talinya. Pelaku menggulung tali ini di dahan lalu  mengikatnya dengan cara menyelipkan ujungnya di antara gulungan tali di dahan dan membuat simpul di situ. Pada kasus bunuh diri normal, korban hanya akan mengikat tali dengan simpul biasa. Sekarang masuk akal kenapa hanya dua baris tali jemuran yang dipakai. Dengan panjang masing-masing yang sekitar dua meter, jika disambungkan kedua utas tali itu sudah cukup untuk mengerek mayat pak Hasan seperti bendera.”
      “Jadi, dia dibunuh?” ucap Arya.
      Yama menjawabnya dengan anggukan.
      “Ja…, jadi pak Hasan sudah mati saat digantung?” tanya Samudra ngeri.
      “Belum dapat kupastikan.” Sahut Yama. Sekarang dia berjalan pelan mengitari jasad Hasan, seperti berusaha mencari keanehan yang lain. Satu menit kemudian dia berhenti dan mendekatkan hidungnya ke bagian samping tubuh Hasan, mengendusnya.
      “Sam, kau tahu apa saja isi seluruh lemari pakaian yang ada di Villa ini?” tanya Yama tiba-tiba.
      “Eh? Uhm, entahlah, sepertinya tidak banyak. Ada beberapa jas dan kemeja ayahku yang sengaja ditinggalkan, juga beberapa kemeja lama kakek, pakaian para pegawai…”
      “Apa ada seragam Satpam?” tanya Yama lagi.
      “Setahuku Hasan membawa seragamnya pulang. Tapi kemarin sepertinya aku melihat beberapa setel seragam yang baru diseterika di ka…”
      “Bagus! Sekarang kita bisa turunkan mayat ini. Biar aku dan Bara yang melakukannya. Sam, Arya, kembali ke Saras dan Pertiwi, jaga mereka.” Perintah Yama.
      “Jaga mereka?” tanya Arya.
      “Jangan banyak tanya, Lakukan saja!”
***
      Setelah berhasil menurunkan jasad Hasan, Yama dan Bara bergabung bersama rekan-rekannya yang menunggu di teras belakang. Arya dan Samudra, meskipun belum mengerti kenapa Yama meminta mereka menjaga Saras dan Pertiwi, tetap melakukan tugasnya dengan terus menempel di sisi kanan dan kiri Saras. Asep masih bersama mereka, dia duduk di tepi teras, menghadap kolam renang, sementara Pertiwi entah pergi kemana.
      “Kemana Pertiwi?” tanya Bara begitu dia sampai.
      “Dia baru saja masuk ke dalam, katanya mau menelepon Ambulance.” Jawab Saras “Bagaimana sekarang? Aku tidak percaya pak Hasan bunuh diri di sini.”
      “Dia dibunuh.” Kata Yama singkat. Ucapannya membuat Saras bergumam ngeri “Asep. Bukankah hari ini kau bertugas mengurus taman dan cucian?”
      Asep bangkit, lalu dengan kalem dia menjawab “Ya, mas. Itu adalah tugas saya untuk hari ini dan kemarin.”
      “Itu artinya kau bertanggung jawab pada semua hal yang berhubungan dengan tugasmu, seperti mesin cuci, lemari pakaian, dan lain sebagainya?” kata Yama hati-hati.
      “Ya, mas.”
      “Termasuk juga kunci lemari pakaian?”
      “Ya, biasanya saya memegangnya sampai keluarga tuan datang berkunjung, namun hari ini kuncinya masih ada pada saya karena tuan Samudra tidak memintanya.” Sekali lagi Asep menjawab, masih sama kalemnya seperti sebelumnya.
      Yama memangguk, wajahnya agak sedikit shock “Setelah menurunkan tubuh pak Hasan, aku dan Bara membuka seragamnya. Kami menemukan tiga luka cakaran dalam yang sudah diperban. Pelaku tidak bisa atau tidak sempat menghentikan pendarahan sehingga dia menutup luka itu dengan lapisan perban yang tebal, Ya, benar, pak Hasan tewas kehabisan darah karena luka yang sangat parah itu. Pelaku lalu mengganti seragam yang terkoyak dan bersimbah darah dengan seragam baru. Aku mengetahuinya saat mencium bau pewangi pakaian pada seragamnya, padahal, Asep pernah berkata padaku bahwa pak Hasan tidak pernah mengganti seragam yang sudah dipakainya sejak pagi atau siang meskipun harus lembur.
      “Setelah lukanya tertutup sempurna sehingga tidak meninggalkan sedikit bekas darahpun di seragam yang baru, pelaku lalu menjerat leher pak Hasan yang telah tewas dan mengereknya di dahan pohon beringin, lalu membuatnya terlihat seperti gantung diri.”
      Yama melihat, tatapan keempat rekannya perlahan mulai berpindah pada Asep yang berdiri tenang. Yama bingung, reaksi laki-laki itu jauh dari yang dia duga, dia tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikitpun. Apakah Asep belum sadar bahwa Yama telah menuduhnya, apakah dia tidak menyadari tatapan curiga orang-orang di sekelilingnya? Atau dia memiliki rencana tertentu?
      “Ja…, jadi, apa dia…” Samudra menunjuk Asep, kali ini dia yang terlihat shock.
      Yama mengangguk “Ya, dia pelakunya. Tidak ada seorangpun yang bisa membuka lemari pakaian di Villa ini dan membungkus tubuh mayat yang telah diperban dengan seragam yang belum lama diseterika.”
      Samudra bereaksi keras atas ucapan Yama, dia buru-buru memprotes “Tapi itu konyol sekali, menuduh Asep sebagai pembunuh hanya karena kunci lema…”
      “Teman-teman!”
      Pertiwi muncul begitu saja di belakang Saras, membuat kaget semua orang. Nafasnya sama tidak teraturnya seperti saat dia mengabarkan penemuan jazad Hasan. Hanya saja kali ini warna kulitnya normal. Meskipun begitu kepanikan di wajahnya sama kentaranya seperti saat dia melihat mayat.
      “Teman-teman!” lanjut Pertiwi “Aku tidak bisa menghubungi Ambulance, aku tidak bisa menggunakan telepon di ruang tengah, ada orang yang telah memutus kabel teleponnya. Handphoneku juga tiba-tiba hilang, jadi aku tidak bisa menghubungi siapapun.”
      “Saya tidak menyangka.” Ucap Asep pelan sembari merogoh kedua saku celananya “Hanya karena kunci lemari saja saya langsung dituduh sebagai pembunuh.”
      Dari kedua saku celananya itu Asep mengeluarkan enam buah Handphone dan menunjukkannya sembari tersenyum kecut.
      “Itu Handphoneku.” Kata Pertiwi.
      “Dan itu punyaku!” Samudra menimpali.
      Senyum di wajah Asep kini semakin lebar. Lalu seiring dengan melebarnya senyum itu, dia mengayunkan kedua tangannya bersamaan, melempar enam Handphone tadi ke arah kolam renang. Suara debur bersahutan saat keenam Handphone itu berjatuhan ke air. Hampir bersamaan dengan itu, Asep menoleh pada Yama, tersenyum seperti orang gila.
      “Ya! Sayalah yang melakukannya, sayalah yang membunuh Hasan. Saya memang tidak sempat menyiapkan alibi apapun karena saya hanya mengikuti rencana Sari.”
      “Rencana Sari?” Yama terkejut.
      “Benar. Anda pikir siapa yang merencanakan pembunuhan ini? Saya?” Asep terbahak-bahak sembari menunjuk Yama “Kalau Anda berpikir demikian itu berarti Anda tertipu. Anda memang hebat karena dapat mengendus perbuatan saya, tetapi Anda terlalu puas dan sombong sehingga tidak menyadari siapa dalang di balik semua ini.
      “Sari sudah merencanakan semuanya jauh-jauh hari. Dia yang mengendurkan Tali jemuran, yang akan digunakannya untuk menjerat leher Hasan sampai mati, dia yang menyembunyikan tangga agar tidak ada seorangpun yang bisa mengamankan tali yang sudah dipersiapkannya sebagai senjata dan dia juga yang merencanakan semuanya sedemikian rupa agar Anda semua menjadi saksi, melihat Hasan yang mati karena gantung diri. Rencananya sungguh rapi, namun dia tidak memperhitungkan satu hal.”
      Asep melangkah pelan ke depan, membuat Yama dan teman-temannya waspada dan mundur perlahan. Arya dan Samudra membentengi Saras dan Pertiwi yang ketakutan dengan rentangan tangan mereka seperti dua orang Bodyguard selebritis yang sedang menghadapi fans fanatik.
      “Hasan memiliki tubuh yang besar, dia jauh lebih kuat dibandingkan Sari. Saat itu, setelah berhasil menjerat leher Hasan dari belakang, Sari mendapat perlawanan sengit. Keadaan berbalik, Sarilah yang menjadi bulan-bulanan dan nyaris terbunuh. Saya yang tidak bisa membiarkan hal itu spontan membantunya. Hasanpun berhasil kami habisi sehingga mayatnya bisa kalian lihat.”
      Asep tertawa terbahak-bahak lagi, dia sudah benar-benar kehilangan kewarasannya.
      “Tapi kenapa? Aku tidak menyangka kalian bisa sesadis itu.” Kata Samudra.
      “Laki-laki itu memang pantas mati.” Desis Asep, dia lalu menunjuk Samudra “Anda pikir kami tidak memiliki alasan kuat untuk membunuhnya? Apa Anda tahu? Bertahun-tahun Sari mendapatkan perlakuan tidak pantas, diperlakukan seperti wanita murahan, dilecehkan, dihina dan dianggap rendah. Harga dirinya sebagai seorang wanita diinjak-injak sampai ke titik paling tidak manusiawi oleh laki-laki bangsat itu, bahkan sampai pada saat Sari bangkit untuk melawan.”
      “Kenapa dia tidak menceritakannya padaku, pada ayah, pada kami?”
      “Anda pikir itu mudah?” kali ini Asep menyela perkataan Samudra dengan cepat “Direndahkan dalam waktu lama membuat Sari malu pada dirinya sendiri. Lagipula seberapa berartinya Sari, saya, kami berdua, di mata keluarga Anda? Kami hanya pekerja, kami tidak berhak mencurahkan isi hati kami, meminta sedikit waktu dari kalian untuk mengeluh tentang masalah yang memalukan. Hak kami hanyalah gaji bulanan, tidak lebih dari itu.”
      “Itu tidak benar, jika kalian butuh perlindungan, pasti kami berikan.” Sanggah Samudra.
      “Kami sudah lama mencobanya, tapi apa Anda pikir ayah Anda, kakek Anda dan keluarga Anda begitu peduli terhadap permasalahan kami saat singgah ke Villa ini? Mereka terlalu sibuk menghibur diri sendiri karena mereka datang ke sini untuk berlibur, bukan mampir untuk mendengar rengekan seorang pembantu.
      “Karena itu Sari melawan dengan kemampuannya sendiri. Saya tidak tega, saya tidak suka dengan laki-laki yang dengan seenaknya menindas wanita yang lebih lemah, apalagi wanita yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Dengan senang hati saya akan menghabisinya. Saya beruntung, di saat tangan ini begitu ingin mengoyak tubuh laki-laki bangsat itu, makhluk itu datang, membuat saya percaya bahwa saya mampu, meyakinkan saya bahwa menghabisi manusia jahat seperti Hasan bukanlah kesalahan besar tapi sebuah keharusan dan memberi saya kekuatan untuk melakukannya.”
      Asep bergerak maju lagi. Matanya berkilat berbahaya, dihiasi seringai mengerikan, membuatnya terlihat seperti orang lain.
      “Sekarang saya tidak bisa membiarkan kalian hidup, tidak setelah tipuan kami terbongkar. Ponsel kalian sudah saya buang, telepon di Villa ini sudah saya sabotase, jadi kalian tidak bisa menghubungi siapapun. Kalian juga tidak bisa pergi ke mana-mana, kalian tidak akan bisa kabur dari sini, semua jalan keluar telah saya tutup dan tidak akan bisa terbuka karena semua kunci, termasuk kunci gerbang dan pintu depan yang tuan Samudra pegang telah saya telan. Jika kalian ingin keluar, kalian harus membunuh dan merobek perut saya, tapi jika itu bisa!”
      Untuk kesekian kalinya Asep tertawa terbahak-bahak. Tawanya makin mengerikan takkala dengan perlahan dia menarik sebilah pisau daging dari balik bajunya. Semua orang mundur ketakutan. Saras dan Pertiwi memekik ngeri sementara Samudra dan Arya yang tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajah mereka masih berusaha menlindungi dua gadis itu.
      Yama tidak tahu harus berbuat apa. Dia sendiri sangat panik melihat Asep mengayun-ayunkan pisau daging, mengintimidasi semua orang. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan rasa sebal yang menyerangnya saat melihat Bara kembali berlagak sok pahlawan dengan berdiri di depan teman-temannya, berniat menjadi tameng. Yama ingin menghentikan Asep, tapi tidak dengan cara nekat. Namun di saat genting penuh resiko seperti sekarang ini, otaknya mendadak kusut dan sulit untuk digunakan.
      Lalu, saat keadaan bisa menjadi lebih buruk, saat Asep sudah bersiap menggunakan pisaunya untuk membelah kepala Bara, laki-laki itu tiba-tiba tersedak dan terbatuk-batuk. Pisaunya masih mengacung ke atas saat dia jatuh berlutut dan mengerang kesakitan sembari memegangi lehernya dengan tangan kiri. Dia seperti orang yang tercekik dari belakang.
      “Tidak, jangan sekarang, ja…, jangan sekarang!” jeritnya parau “Aku masih harus membunuh Samudra dan teman-temannya…”
      Dan Asep menjerit. Pisaunya jatuh ke lantai saat tangan kanannya mendadak gemetar dengan hebat, seperti sedang terkena sengatan listrik bervoltase besar. Berikutnya pemandangan mengerikan yang terjadi bahkan membuat Bara tidak mampu menahan keinginannya untuk menjerit; tangan kanan Asep membengkak dengan begitu tiba-tiba, membuat kulitnya terlihat akan meletus, namun alih-alih membengkak lebih besar lagi, tangan itu kembali ke ukuran normal. Sebagai gantinya terjadi sesuatu dengan jari-jarinya, kelingking dengan jari manis, jari tengah dengan telunjuk, saling menumpuk dan menyatu sementara ibu jarinya perlahan memanjang. Dari ketiga jari yang terbentuk secara ganjil itu muncul cakar panjang mengkilat. Lima detik kemudian seluruh tubuh bagian atas Asep ditumbuhi bulu putih setelah sebelumnya membengkak hingga baju yang dikenakannya robek. Yama tidak bisa melihat perubahan wajah Asep setelah melihat telinga laki-laki itu lepas tergantikan telinga runcing milik serigala karena setelah menghajar Bara dan membuatnya terlempar ke samping kolam renang, Asep yang kesetanan menghantam wajah Yama dan mendorongnya hingga masuk ke dalam Villa dan menabrak pintu gudang yang berjarak enam meter dari teras.
      Rasa pusing dan sakit luar biasa pada kepala yang menyerangnya membuat Yama langsung tidak sadarkan diri.
***
      Yama tersadar karena kombinasi rasa sakit, pusing dan nyeri yang menusuk-nusuk ubun-ubunnya. Matanya yang mulai terbuka berkunang-kunang, sementara telinganya berdengung. Di antara dengungan yang memenuhi rongga telinganya, sama-samar dia bisa mendengar suara jeritan wanita dan suara parau yang menyuruhnya bangun tepat disampingnya.
      “Akhirnya kau bangun juga, Yama. Kau ini payah sekali, terkena hantaman sekali saja sudah tumbang.”
      Jantung Yama terasa sakit saking kagetnya. Vivandak melayang setidaknya satu meter di atas kepala Yama, memandanginya dari sudut langit-langit dekat pintu yang dia tabrak. Makhluk itu terlihat dua kali lebih mengerikan dibanding saat pertama kali Yama melihatnya di Mandalawangi.
      “K…, Kau, bagaimana kau bisa ada di sini? Dan, dan bagaimana kau bisa tahu namaku? Aku bahkan belum memperkenalkan diri.”
      “Pertanyaan yang tidak penting. Kepalamu pasti terbentur sangat keras dan mengganggu kerja otakmu.”
      Yama menyentuh ubun-ubunnya yang sakit. Jemarinya basah oleh darah. Vivandak benar, kepalanya terbentur keras ke pintu hingga ubun-ubunnya terluka.
      “Sial…” umpat Yama sembari meringis.
      “Teman-temanmu dalam bahaya. Tubuh bocah bernama Asep itu sudah dikuasai oleh Raksas sepenuhnya. Sekarang dia bukan Asep lagi, melainkan Raksas kelas A bernama Kurgana.” Ujar Vivandak yang perlahan melayang turun.
      “Ra…, Raksas?”
      “Ya.” Sahut Vivandak “Makhluk itu adalah wujud lain dari salah satu Raksas Soul yang kau lepaskan tempo hari. Sekarang bangunlah anak manja, gunakan Samael Samvid yang kuberikan padamu dan habisi Kurgana.”
      Yama merogoh saku celananya. Alat yang Vivandak maksud masih aman berada di dalam sakunya “Maaf, tapi, apa alat ini dipasarkan beserta dengan buku petunjuk atau DVD tutorial? Aku sama sekali tidak tahu bagaimana menggunakannya.”
      “Tekan tombol merah, jangan tanya tombol merah yang mana karena hanya ada satu tombol merah pada alat itu.” Sahut Vivandak.
      Yama menurut. Ditekannya tombol merah di samping kiri layar. Tak lama sebuah hologram kabur yang nampaknya akan membentuk sebuah alat muncul di pergelangan tangannya, makin lama makin jelas. Alat itu terbentuk dengan sempurna sepersekian detik kemudian. Sekilas terlihat seperti Crossbow mini yang menempel di tangan dengan sebuah slot persegi panjang.
      “Alat apa ini?” kata Yama takjub.
      “Samvid Dathra.” Sahut Vivandak “Sekarang, masukan Samvidmu ke dalam slot. Dengan begitu kau akan bertransformasi.”
      “Tunggu dulu, bukannya untuk bertransformasi dibutuhkan satu Raksas Soul?”
      “Sudah ada satu Raksas Soul di dalam Samvidmu, kalau tidak bagaimana kau bisa berubah untuk pertama kali?” kata Vivandak tidak sabar “Jangan banyak bicara, lakukan saja. Dan jangan sia-siakan satu-satunya Raksas Soul yang kau punya!”
      Sekali lagi Yama menuruti perintah Vivandak. Samael Samvid masuk dengan sempurna ke dalam slot Samvid Dathra di pergelangan tangannya. Setelah alat itu sepenuhnya masuk ke dalam slot, sebuah sensasi aneh mulai Yama rasakan. Suhu tubuhnya perlahan naik, dibarengi dengan punggung tangan kanannya yang mulai tertutupi oleh lapisan hitam. Lapisan hitam itu menjalar dengan kecepatan ekstrim, mulai dari pergelangan tangan, lalu naik ke bahu dan melebar hampir menutupi dada, seperti aspal yang hidup. Disaat lapisan hitam itu sudah hampir menutupi bagian kanan tubuhnya, dia merasakan sesuatu yang menggeliat di dahinya, seperti ada sesuatu yang memaksa keluar dari kulit. Saat Yama merabanya dia mengenali sepasang tanduk kecil yang terus tumbuh mendesak kulit dahinya.
      Yama meringis kesakitan. Nyeri di bagian wajah dan panas di hampir seluruh bagian tubuhnya membuatnya tidak mampu bangkit. Itu tidak seberapa, karena saat dia pikir setengah bagian wajahnya akan hancur karena tanduk yang mulai memanjang, jantungnya serasa berhenti mendadak karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Yama ambruk. Sesaat dia mengira akan mati karena serangan jantung.
      Lalu suhu tubuhnya kembali normal, rasa nyeri di dahinya hilang dan jantungnya kembali berdegub. Yama mulai bisa menguasai dirinya, dia bangun, berusaha menarik nafas sembari menggosok-gosok dahinya. Namun kelihatannya Vivandak tidak senang melihat Yama selamat karena makhluk itu berteriak frustasi.
      “Aku tidak percaya ini. Kau gagal! Kau gagal!”
      Yama mengerjap lalu berdiri. Dia tersinggung, beberapa detik yang lalu dia hampir kehilangan nyawa dan sekarang makhluk jelek yang baru dikenalnya berteriak lantang seperti majikan bahwa dia gagal? Sungguh dia merasa tidak dihargai.
      “Jangan berteriak padaku!” Ucap Yama marah.
      “Itu layak untukmu!” balas Vivandak “Kau sudah membuang satu-satunya kesempatan yang kau punya untuk bertransformasi. Kau sudah menyia-nyiakan satu Raksas Soul yang tidak akan pernah bisa kau dapatkan lagi!”
      Yama mengabaikan Vivandak. Dia berjalan terhuyung ke arah pintu teras belakang.
      “Hei! Jangan membelakangiku saat aku sedang bicara!” teriak Vivandak “Mau kemana kau?”
      “Menyelamatkan teman-temanku.”
***
      Kekacauan masih berkutat di halaman belakang. Saat Yama sampai di teras, pemandangan pertama yang menarik matanya adalah Pertiwi dan Arya yang tergeletak di tepi kolam renang. Sulit untuk memastikan apakah mereka mati atau hanya sekedar pingsan, karena di tengah kepanikan karena melihat tubuh kedua temannya yang tak sadarkan diri itu, otaknya yang kacau memaksa dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari si pembuat onar dan teman-temannya yang lain.
      “Mereka berdua hanya pingsan.” Kata Vivandak yang tahu-tahu sudah berada di antara Pertiwi dan Arya.
      Jeritan Saras terdengar dari arah sudut halaman, di balik rimbunnya pohon mawar. Yama bergegas menghampiri. Saras dan Samudra terlihat berjalan mundur dengan lengan berdarah, panik dan tersudut sementara Kurgana tertawa terbahak-bahak melihat wajah mereka berdua yang ketakutan setengah mati.
      Kurgana mengayunkan cakarnya, memotong beberapa dahan mawar untuk menakut-nakuti mereka. Monster berkepala serigala itu kembali tertawa saat Samudra berhasil kabur namun terjerebab di tanah karena terpeleset rumput. Kini Saras dalam bahaya. Cakar Kurgana yang berhasil merobek kulit lengannya bisa mengoyak bagian tubuhnya yang lain kapan saja.
      Yama terpaku. Dia juga ketakutan sedangkan dalam lubuk hatinya yang paling dalam tidak bisa disangkal lagi dia sangat ingin menolong Saras. belum ada jalan keluar bagus yang bisa dia temukan di saat seperti ini, tidak di saat gadis pujaannya sedang diancam monster jelek berkuku silet. Otaknya yang berkabut hanya memberinya saran untuk melempar Samael Samvid di genggamannya ke kepala Kurgana. Sepertinya tidak ada ruginya, pikir Yama frustasi, toh alat itu sudah tidak ada gunanya lagi. Itu bisa mengalihkan perhatian Kurgana dan membuatnya mengejar Yama dan mencakar punggungnya agar Saras bisa lari…
      “Cepat tekan tombol kiri di bawah layar!” suara Vivandak mengagetkan Yama.
      “Cerewet!” Yama segera menekan tombol yang Vivandak maksud tanpa banyak berpikir lagi.
      Dan hasilnya luar biasa. Semua yang tidak bisa bergerak tiba-tiba berhenti, kecuali Yama sendiri. Dia bisa melihat Samudra yang merangkak, tangannya yang kaku terjulur ke arah tanaman di depannya. Dia juga melihat Saras yang sedang berteriak sembari menutupi wajahnya dengan tangannya yang terkoyak membeku dengan posisi nyaris jatuh. Kurgana pun tidak luput, dia mematung, tubuh dan cakarnya yang sebentar lagi akan menghancurkan tangan Saras berhenti mematung.
      “Tombol itu berfungsi untuk menghentikan waktu selama 20 detik saja. Gunakan kesempatan ini untuk selamatkan temanmu!” suara Vivandak terdengar lagi.
      Yama memutar kepalanya, mencari benda untuk senjata. Dia meraih pot di dekat situ, lalu berlari secepat yang dia bisa menuju tempat Kurgana dan Saras. Dilemparnya pot itu sekuat tenaga dengan kepala Kurgana sebagai targetnya. Benda itu hancur berantakan saat membentur kepala Kurgana, tanah di dalamnya berhamburan dan Kurgana menyingkir ke samping, cukup jauh dari Saras yang masih membeku.
      “Kurang ajar!” raung makhluk itu sambil menggosok-gosok sisi kepalanya yang membengkak karena benturan pot tadi.
      Kurgana berlari kecil ke arah Yama, langkahnya penuh ancaman sementara cakarnya berkilat-kilat seakan sedang berbicara bahwa dia ingin memotong-motong daging manusia kurang ajar yang dengan nekatnya melempar porselen pada kepala tuannya itu. Yama mundur, hampir berlari, kapan saja Kurgana bisa menyerganya dan memotong-motong tubuhnya menjadi fillet.
      Namun Kurgana berhenti, berhenti begitu mendadak. Kemudian, setelah mengeluh sembari menghentak-hentakkan kakinya beberapa kali, dia berlari lebih kencang ke arah berlawanan, melewati Saras yang masih diam lalu melompati tembok dan menghilang.
      Vivandak sudah ada di sebelahnya saat semua orang kembali bisa bergerak. Dia menatap ke arah tembok, ke arah menghilangnya Kurgana sebelum menoleh pada Yama dan menguap hilang entah ke mana.


BERSAMBUNG

5 komentar:

  1. Ala-ala conan nya dapet banget mas...keren!

    BalasHapus
  2. Jadi berharap lebih pengen baca versi komik nya...biar imajinasi ini tersalurkan. ..
    Wajah asep?
    Monsternya. ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komiknya masih jauh, biar web novelnya banyak yg baca dulu :D

      Hapus
  3. Kalo nyetakin dalam bentuk fisik siap order ah....semangat mas walau belum baca novel beast taruna, tapi samael saga udah keren dan wajib nyetak novelnya. ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, makasih mas. doain aja saya sma tim saya sehat terus dan semuanya lancar, insha Allah nanti ada novelnya :D

      Hapus