SOUL 1 : Paket Dari Langit


Saras memekik. Dia terus berguling turun tak terkendali. Bahkan tas ransel besar yang digendongnya, alih-alih menahan tubuhnya, justru terlepas dan terlempar ke arah lain. Turunan itu begitu curam, sehingga tubuh Saras nyaris terjun bebas. Bara tidak tinggal diam, tanpa berkata apa-apa dia terjun ke bawah, berguling-guling beberapa kali sebelum berhasil mengendalikan tubuhnya  dan melompat sekuat tenaga ke depan. Rasanya waktu terasa berhenti, sementara semua urat syaraf di tubuh Yama seakan menegang saat melihat Bara yang begitu nekat berhasil meraih tubuh Saras dan mendekapnya. Bagaimana jika Bara tidak seberuntung itu? Bagaimana jika dia tidak berhasil menguasai tubuhnya sendiri dan melompat tepat waktu? Tubuhnya akan terlempar sia-sia ke jurang dan lebih parahnya lagi, Saras juga tidak akan tertolong.
Setelah sempat berguling berdua. tubuh Bara dan Saras tertahan oleh sebuah batang pohon. Bara mengerang kesakitan karena tubuhnyalah yang menabrak batang pohon itu. Erangannya menggema, mereka jatuh ke kedalaman sekitar delapan meter, tanpa pengaman.
“Oi, Oi! Kalian tidak apa-apa? Bara, Saras!” teriak Arya nanar.
Sulit melihat keadaan mereka berdua dari atas. Semua orang panik, bahkan Pertiwi tidak hanya gemetaran, tetapi juga masih tidak mampu bangkit sejak dia terjatuh karena gempa beberapa menit yang lalu.
“Aku harus turun. Sam, Yama, keluarkan tali dan semua peralatan di ransel kalian. Ikat sekencang mungkin di batang pohon yang paling kuat, AYO!” Perintah Arya panik.
Mereka bertiga bekerja, mempersiapkan semua peralatan untuk membatu Arya turun ke bawah. Pertiwi masih terduduk lemas, lengannya gemetaran.
“Ini, ini seperti yang terjadi setengah tahun lalu, seperti yang terjadi pada Ema…” ratap Pertiwi.
“Tidak, tidak, tenanglah Tiwi, itu tidak akan terjadi lagi.” Kata Samudra “Mereka berdua akan baik-baik saja, percaya…”
“Kalian bertiga cepatlah! Selamatkan mereka sebelum terlambat!” bentak Pertiwi tiba-tiba.
***
        Sepuluh menit kemudian Arya turun perlahan ke bawah. Yama, Samudra dan Pertiwi mengawasi dari atas, berdoa, berharap Bara dan Saras baik-baik saja. Tak lama Arya berteriak, mengatakan bahwa Bara dan Saras tidak apa-apa dan meminta mereka bertiga untuk bersiap-siap karena dia akan membantu Saras naik.
           Evakuasi berjalan lambat. Turunan yang begitu curam itu membuat Arya agak kesulitan. Yama dan ketiga rekannya berusaha menyingkirkan kepanikan yang melanda dan membantu Arya sekuat tenaga untuk naik. Setelah hampir dua puluh menit yang menegangkan, Bara dan Saras berhasil di selamatkan. Betis kanan Saras terluka cukup parah dan tangan kanannya terkilir,  sementara Bara menderita sakit punggung. Untung saja ada ransel yang menahan bagian belakang tubuhnya, sehingga tulangnya tidak sampai patah.
Perjalananpun tertunda. Kaki dan lengan Saras sudah dibebat dengan perban, namun dia masih meringis-ringis kesakitan, wajahnya sangat pucat, belum pernah Yama melihat Saras sepucat dan selayu saat ini. Sedangkan Bara masih memegangi punggungnya, sama pucatnya seperti Saras. Meskipun sulit untuk diakui, ini pertama kalinya Yama senang sekali melihat Bara. Namun lain kali, dia bersumpah tidak akan membiarkan Bara bersikap sok pahlawan. Bara pikir apa yang sudah dilakukannya akan membuat Saras terkesan?
Thanks, Bara. Kau berani sekali. Aku, aku tidak tahu akan seperti apa jadinya jika kau tidak menolongku.” Ucap Saras lirih. Dia tersenyum setengah meringis menahan nyeri.
“Kenapa harus berterima kasih?” Bara tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Saras dengan sayang “memastikan kau aman, Itu sudah kewajibanku.”
Pemandangan itu sungguh membuat Yama muak.
“Tadi itu sebenarnya apa, ya? Seperti ada bom yang meledak.” Kata Samudra tiba-tiba.
“Iya. jika itu bom pasti bomnya besar sekali. Sampai terjadi gempa segala.” Timpal Arya.
“Kira-kira suara tadi asalnya dari mana, ya?” tanya Pertiwi.
“Kemungkinan dari arah alun-alun Mandalawangi. Tidak jauh dari sini.” Sahut Bara “Guys, Sepertinya kita tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Gede.”
“Ya, luka Saras lumayan parah.” Kata Pertiwi, sambil memandang prihatin ke arah Saras yang masih meringis.
“Tapi kita juga tidak bisa terus-terusan di sini. Hari sudah semakin gelap, kita harus cari tempat yang aman untuk berkemah dan merawat luka Saras.” Kata Yama.
“Iya, karena itu kita terpaksa harus jalan lagi. Kita harus pergi ke Mandalawangi, itu satu-satunya tempat yang aman, jaraknya tidak terlalu jauh.” Tukas Bara “Saras, kira-kira kau sanggup tidak untuk jalan lagi?”
“Asal ada yang bantu aku, aku bisa.” Ujar Saras mantap.
“Apa kau yakin? Lukamu baru kubebat. Aku khawatir nanti terjadi pendarahan.” Kata Pertiwi.
“Tidak apa-apa. Asal pelan-pelan aku yakin tidak apa-apa.” Kata Saras.
Mereka melanjutkan sisa perjalanan menuju ke alun-alun Mandalawangi. Yama memapah Saras yang terpincang-pincang. Kali ini Samudralah yang memimpin rombongan karena Bara juga masih kesakitan.
Tak lama mereka memasuki kawasan alun-alun Mandalawangi. Tempat itu adalah sebuah area terbuka seluas kurang lebih lima hektar yang dipenuhi dengan Edelweis. Tenda-tenda segera didirikan karena hari semakin petang. Sekitar lima belas menit kemudian dua tenda telah berdiri dan Bara menyuruh Saras untuk istirahat.
Yama tiba-tiba teringat ucapan Bara bahwa suara ledakan tadi berasal dari Mandalawangi. Suara itu terdengar tidak lama setelah dia melihat benda asing berasap yang jatuh dari langit.
“Apa mungkin ledakan itu berasal darinya?” tanya Yama dalam hati “Jika Bara benar itu berarti benda itu tidak jauh dari sini.”
Yama memandang berkeliling “Tapi di mana?”
Yama menoleh ke arah belakang, ke arah tenda. Tidak ada orang. Bara, Samudra dan Arya sepertinya sedang sibuk di dalam tenda. Begitu juga dengan Pertiwi. Tanpa banyak berpikir lagi Yama melangkah menjauhi perkemahan. Mencari benda asing itu.
***
Yama berjalan mengelilingi area luas Mandalawangi. Sudah hampir 15 menit dia berputar-putar, tetapi belum juga menemukan benda yang dicari. Sementara itu handy talkie-nya terus bersuara. Bara dan lainnya sudah menyadari kepergian Yama yang tanpa izin itu.
Yama, kau di mana? Segera kembali, sebentar lagi malam.
Suara Bara terdengar di HT-nya.
“Berisik! Aku lagi cari kayu bakar.” Jawab Yama ketus.
Tapi ucapan Bara benar juga, pikir Yama. Hari memang sudah mulai petang, akan sulit sekali kembali jika tersesat. Yama sendiri tidak tahu sampai kapan dia akan mencari keberadaan benda asing itu. Sambil menahan jengkel dia terus berjalan, bimbang antara melanjutkan pencarian atau kembali ke perkemahan. Sementara HT disaku celananya semakin berisik saja.
Namun tak lama Yama melihat struktur tanah yang aneh sekitar enam meter di depannya. Permukaan tanah di depannya itu terlihat amblas. Saat dia mendekat samar-samar terlihat kepulan asap hitam. Yama berlari ke depan. Matanya terbelalak saat dia mendapati sebuah kawah besar berasap terbentang di depan matanya.
Dia terpaku beberapa saat. Kemudian matanya menangkap sebuah objek aneh di antara asap yang mengepul. Sebuah benda hitam, berbentuk mirip kapsul. Yama berusaha menajamkan penglihatannya namun sia-sia karena tempat itu makin gelap. Karena itu akhirnya dia memutuskan untuk turun ke dasar kawah.
Perlahan Yama berjalan mendekati benda itu. Profil kapsul itu semakin jelas seiring dengan memendeknya jarak antara Yama dan benda itu. Sekarang Yama dapat melihatnya dengan jelas. Benda itu memang sebuah kapsul, berwarna abu-abu dan berukuran sebesar Tangki Air. Ujung kapsul itu berwarna metalik, sementara bagian utamanya dipenuhi pola-pola aneh, semacam tulisan atau simbol.
Dia memberanikan diri untuk menyentuh kapsul itu. Kemudian berjalan mengelilinginya sembari mengamati setiap bagian dari benda asing itu.
“Keren.” Bisik Yama “Ternyata hal-hal aneh semacam ini memang ada.”
Kemudian ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah lingkaran kecil berpendar kemerahan. Kontras sekali dengan hari yang mulai petang. Yama memperhatikannya dengan seksama lalu menyentuh lingkaran itu.
Tiba-tiba terdengar suara desisan keras, disusul oleh terangkatnya ujung kapsul yang berwarna metalik itu. Yama yang kaget jatuh terduduk, menganga saat enam sinar berwarna Merah, Biru, Kuning, Hijau, Putih dan Hitam tiba-tiba melesat dari ujung kapsul yang terbuka. Sinar-sinar itu terbang ke udara. Setelah itu puluhan sinar berwarna abu-abu menyusul, melesat ke langit malam dan berpencar ke segala arah.
Yama tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia bersusah payah bangkit karena menahan tubuhnya yang gemetar.
“Sebenarnya benda apa ini?” bisik Yama.
Lalu tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang menabraknya dari belakang. Yama tersungkur, jatuh tepat di depan kapsul itu. Dia lalu berteriak karena di tangannya mendadak muncul kobaran api berwarna hitam yang menjalar dengan cepat.
Yama berlari serabutan, menepuk-nepuk tubuhnya dengan panik. Sementara api hitam itu terus menjalari tubuhnya, hampir mencapai wajahnya. Yama berguling, melompat-lompat, terus melakukan apa saja yang dia rasa mungkin bisa memadamkan api hitam di tubuhnya. Namun, alih-alih padam karena semua usaha yang dia lakukan, api hitam itu justru semakin membesar. Sementara suara Bara masih terdengar di HT miliknya yang terjatuh dan ikut terbakar.
Yama, jawab Yama, ada apa sebenarnya? Kau kenapa? Yama!
Yama terjatuh di tanah, tubuhnya sudah sepenuhnya terbakar. Dia tidak bisa bergerak lagi. Dia hanya bisa mendengar suara kemeresak dari HT miliknya yang terbakar habis sebelum akhir mendengar suara Ngiiiiiinggg panjang di telinganya. Dia tidak sadarkan diri.
***
Bagaimana? Masih belum ada jawaban?” Saras keluar dari tenda, terpincang-pincang mendekati teman-temannya yang mengerumuni Bara.
Tidak ada jawaban sama sekali, terakhir dia hanya bilang kalau dia sedang mencari kayu bakar.” Sahut Bara. Wajahnya terlihat panik dan jengkel sekali.
“Aduh kemana sebenarnya anak itu. Suka sekali dia bikin sensasi.” Gerutu Arya.
“Atau kita cari saja dia, jika hanya menunggu jawabannya sih hasilnya pasti nihil.” Usul Samudra.
“Tapi kita akan cari kemana Sam? Dia kan bilang mau cari kayu bakar, itu berarti dia masuk hutan kan? Pasti akan sulit sekali mencarinya apalagi sudah gelap begini.” Kata Arya.
Lantas bagaimana? Tidak mungkin kita hanya diam begini.” ucap Samudra, memandang Pertiwi dan Saras, meminta dukungan “Bara, bagaimana?”
Bara terdiam sejenak, tampak berpikir keras.
“Oke, Aku dan Arya akan cari dia. Sam, kau di sini saja, jaga Saras sama Tiwi.” Kata Bara.
***
Yama merasa ada sesuatu di dalam tubuhnya yang membuat dirinya sadar. Perlahan dia bisa merasakan tubuhnya, bisa merasakan sikutnya yang sakit akibat berguling-guling, bisa merasakan pegal di beberapa bagian tubuhnya. Kemudian dia berusaha bangkit, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya dan melihat tangannya yang sama sekali normal, tanpa luka bakar sedikitpun, hanya belepotan tanah. Padahal dia sangat yakin, beberapa saat yang lalu tubuhnya terbakar.
“Apa-apaan ini?” bisik Yama.
Yama berdiri, kemudian dia melihat sisa api hitam di tanah tidak jauh darinya. Itu HTnya yang terbakar. Dia berjongkok, mengamati Api hitam yang terus melumat HT miliknya. Tak lama dia melihat keanehan lainnya. Api itu tiba-tiba padam, kemudian dari sisa alat itu muncul sebuah benda aneh. Benda itu berbentuk persegi panjang, ada sebuah layar yang cukup besar di tengahnya ditemani 3 buah tombol kecil berwarna Merah, Hijau dan Abu-abu di sebelah kiri atas Layar dan dua buah tombol besar berwarna putih di bawah layar.
Berkali-kali mendapatkan kejutan membuat dia ragu-ragu untuk memungut benda asing berbentuk mirip gadget tersebut. Namun rasa penasarannya yang besar membuat dia memutuskan untuk memungutnya.
Yama terkesima, benda itu dingin, padahal jelas-jelas benda itu keluar dari sisa-sisa plastik dari HT yang terbakar. Yama terus mengamati benda itu. Lalu layar benda itu mulai berkedip-kedip, berkedip-kedip, berkedip-kedip, sampai akhirnya menyala terang, membuat Yama tersentak dan menjatuhkannya.
“Bisakah kau tenang sedikit, manusia Bumi?”
Mata Yama terbelalak, di depannya berdiri makhluk aneh dan mengerikan. Tubuhnya berwarna hitam dengan dua mata yang menyala merah, ada sepasang tanduk di kepalanya dan, ya tuhan, hati Yama mencelos, makhluk itu tidak memiliki kaki yang utuh, sepertiga bagian dari kakinya tidak ada. Jadi, alih-alih berdiri dengan kedua kakinya, makhluk ini melayang di udara dengan kedua kaki yang nyaris hilang.
Yama bergerak mundur, ketakutan. Makhluk itu melayang maju ke arahnya.
“Si..., siapa kau?”
“Aku Vivandak, utusan dari Graphene, alat yang kau jatuhkan tadi adalah Samael Samvid. Api hitam yang membakar tubuhmu adalah tanda bahwa salah satu dari Samael Soul yang terlepas telah masuk ke dalam tubuhmu.” Ujar Vivandak.
“A..., apa??”
Vivandak lalu melayang, menepi, membuat Kapsul besar yang sedari tadi terhalang olehnya kini bisa Yama lihat dengan jelas.
“Lihat itu.” Kata Vivandak “Anak bodoh, kau telah membuat kesalahan besar dengan membuka segel kapsul itu. Kapsul itu adalah senjata pemusnah massal yang akan aku singkirkan sejauh mungkin dari alam semesta. Dalam perjalanan aku mengalami sedikit masalah sehingga aku terjatuh ke Bumi. Saat aku berniat untuk membawanya keluar dari sini kau datang dan dengan seenaknya membuka segel kapsul itu.
“Sekarang kau harus bertanggung jawab. Kau harus menyegel kembali kapsul ini. Kapsul ini bisa meledak kapan saja dan menghancurkan setengah bagian planetmu.”
“Apa? Aku harus bertanggung jawab? Tapi itu juga kesalahanmu, kau tidak becus membawa bom besar itu...”
Secepat kilat Vivandak menghampiri Yama. Tahu-tahu makhluk itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Dia mencengkeram kerah baju Yama dan menggeram.
“Manusia Bumi yang banyak bicara, hanya seorang Samael saja yang dapat menyegel kapsul itu dan kaulah orangnya.”
Lalu secepat kilat dia berpindah tempat lagi.
“Untuk menyegel kapsul itu dibutuhkan lima Samael Soul dari FLAME, SAND, SEA, WIND dan LIGHT. Untuk mendapatkannya kau harus mencari dan mengalahkan mereka. Setelah mendapatkan kelima Soul dari lima Samael itu aku akan membantumu menyegel kapsul ini.” Ujar Vivandak.
Kau pikir aku mau melakukannya?” kata Yama.
Vivandak menggeram “Baik, kalau kau memang tidak mau melakukannya. Tapi ingat, jika kapsul ini meledak maka akan banyak sekali manusia yang mati. Kau akan merasa sangat bersalah jika hal itu terjadi. Kau seharusnya dapat mencegahnya tapi kau justru mengabaikannya. Mungkin saja bukan jika di antara mereka yang mati sia-sia ada orang-orang yang kau cintai, orang-orang yang sangat berarti bagimu?
Yama tertegun. Dia terdiam sejenak. Lalu bayang-bayang aneh memenuhi benaknya; gedung-gedung tiba-tiba hancur, orang-orang berlarian dengan panik kesana-kemari tak tentu arah, kekacauan terjadi di mana-mana. Kemudian tiba-tiba wajah Saras yang tersenyum muncul. Disusul Bara, Arya, Samudra dan Pertiwi. Dan kemudian wajah sang kakak. Ya, sang kakak, yang sudah bertahun-tahun pergi meninggalkannya sendirian. Mereka tidak boleh mati, pikir Yama, mereka jelas tidak boleh mati. Karena mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berarti baginya.
Perlahan Yama bangkit. Setelah membersihkan pasir yang mengotori baju dan lengannya dia berkata.
“Baik, aku bersedia. Tapi aku melakukannya bukan untukmu, melainkan untuk orang-orang yang aku sayangi. Sebenarnya aku tidak sudi menuruti perintah makhluk jelek yang dengan seenaknya memanggilku bodoh.”
Vivandak tertawa “Terserah kau saja, anak bodoh. Lagipula Ini sudah menjadi tanggung jawabmu.”
“Jangan banyak bicara lagi, sekarang beritahu aku, dari mana aku harus memulai?” Tanya Yama.
“Aku sudah mengatakannya padamu. Carilah lima Samael yang lain. Kau hanya perlu mengalahkan mereka dan mengambil Samael Soul dari mereka. Namun ada satu hal yang harus kau perhatikan.” Kata Vivandak “Selain telah membuka segel, mengaktifkan senjata pemusnah massal dan melepas Samael Soul, kau juga telah melepas puluhan Raksas Soul.”
“Raksas Soul?”
Vivandak mengangguk “Raksas Soul adalah jiwa dari para monster dari Graphene. Selain harus menghadapi Samael yang lain, kau juga harus menghadapi para Raksas karena Soul mereka adalah kunci bagi seorang Samael untuk dapat menggunakan kekuatannya.”
Kepala Yama langsung pusing. Mimpi apa dia semalam? Dia hanya menekan satu tombol, tetapi tanggung jawab yang harus dipikul setelahnya sangat tidak main-main.
Vivandak memungut Samael Samvid yang tergeletak di tanah dan melemparkannya pada Yama. Yama menangkapnya. Dia mengamati sejenak benda itu. ini buruk, pikir Yama, entah apa yang akan terjadi padanya selanjutnya. Senjata pemusnah massal? Mencari dan mengalahkan lima orang yang tidak dikenalnya? Berurusan dengan monster? Yama merasa dirinya tengah berada disatu scene dalam salah satu serial superhero Jepang yang sangat Arya gemari di mana sang pahlawan baru saja mendapat kekuatan untuk menyelamatkan dunia. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Karena itu demi segera lepas dari tatapan makhluk aneh bernama Vivandak itu  dia berkata.
“Baiklah, sekarang aku harus kembali ke perkemahan. Teman-temanku pasti mengkhawatirkanku.”
***
Keributan seketika terjadi setelah Yama muncul. Saras, Pertiwi, Samudra dan Arya tidak henti-hentinya mengomeli Yama yang, seperti biasanya, berlagak cuek. Setelah puas mengadili Yama yang bandel merekapun tidur karena harus pergi dari Mandalawangi pagi pagi sekali.
Keesokan harinya mereka bergegas turun gunung. Perjalanan pulang terasa jauh lebih berat karena Saras yang terluka masih memerlukan bantuan teman-temannya untuk berjalan. Meskipun begitu mereka berhasil kembali ke Villa milik keluarga Tanujaya pukul empat sore.
Yama terus memikirkan kejadian luar biasa yang dialaminya di Alun-alun Mandalawangi, merenung di teras lantai dua Villa, memandangi langit yang semakin gelap. Dia masih mengira pertemuannya dengan Vivandak  hanyalah mimpinya saja. namun Samael Samvid yang kini ada di genggamannya membuat dia tersadar bahwa kejadian malam itu nyata. itu berarti Bumi beserta isinya sedang berada di bawah ancaman sebuah kapsul aneh yang ternyata senjata pemusnah massal, itu berarti orang-orang yang Yama sayangi benar-benar terancam jiwanya.
Memikirkan hal di luar nalar seperti itu membuat kerongkongannya kering. Yama turun, menuju dapur untuk minum. Sembari memegangi gelasnya yang berembun karena terisi air dingin, dia bersandar di pintu, menghadap tempat jemuran. Saat itu Saras muncul dari belakang. Kaki dan tangannya masih terbebat perban dan jalannya pincang. Yama buru-buru menyembunyikan Samael Samvid yang dia pegang.
Kau lagi ngapain?” tanya Saras saat dia sudah berada di samping Yama.
“Uhm, cuma sedang melamun saja.” Sahut Yama.
Melamun?” Saras susah payah membuka pintu lemari es “Ternyata susah ya membuka lemari es dengan tangan kiri saat tangan kanan terkilir begini
“Mau kubantu?” tanya Yama.
“Tidak usah.” Saras tersenyum “Aku bisa sendiri.”
Yama mengangguk paham, lalu dia kembali bersandar di pintu. Setelah menuang sendiri minumannya ke dalam gelas, Saras terpincang-pincang berjalan mendekati pintu. Dia lalu bersandar di sisi lain pintu. Sama-sama menghadap tempat jemuran.
“Kau sedang melamunkan apa?” Saras bertanya.
“Bukan apa-apa, bukan hal penting.” Jawab Yama, melirik Saras yang juga meliriknya “Kau sendiri kenapa ke sini?”
“Aku juga mau melamun di sini.” Sahut Saras.
Melamun? Melamunkan apa?” Yama meniru ucapan Saras, membuat gadis itu tertawa.
“Aku hanya mau merenung tentang...” Saras melirik Yama, memandangnya sesaat lalu mendongak memandang langit “... tentang hubungan kita.”
Yama tertegun.
“Kenapa kau masih memikirkan tentang hal itu?” tanyanya.
“Aku, aku hanya...”
“Minggir! Minggir!”
Samudra muncul. Dia tergopoh-gopoh membawa tangga bersama Asep. Samudra terlihat agak kesal.
“Tangga ini seharian disembunyikan di pos satpam. Aku tidak mengerti, kenapa Satpam bengal itu tidak langsung mengembalikan tangga ini ke tempat semula setelah selesai memakainya. Benar-benar tidak disiplin. Sini Asep, betulkan tali-tali jemuran ini, loh…”
Samudra melongo, kepalanya mendongak, menatap tali-tali jemuran di atasnya “Tali jemurannya tinggal dua baris. Kemana tali-tali yang kemarin kendur? Kenapa tidak ada?”
“Mungkin sudah dilepas oleh Asep.” Kata Yama.
“Maaf, tapi saya tidak melepas satu tali jemuranpun.” Timpal Asep segera.
“Lalu siapa yang melepasnya? Kenapa dilepas? Seharusnya dikencangkan, bukan dilepas.” Gerutu Samudra.
“Hei, cuma masalah tali saja heboh begitu. Kenapa tidak beli saja yang baru?” tanya Saras geli.
“Tidak bisa, toko kelontongnya jauh dari sini, aku masih capek.” Balas Samudra, nadanya bicaranya benar-benar kesal “Ya tuhan, badanku sedang kelelahan begini, seharusnya aku bisa istirahat, tapi masalah tali jemuran saja bisa luput begini dari pengawasan, masa harus aku yang turun tangan?”
Saking gemasnya, Yama memukul dahinya sendiri “Suruh saja Asep pergi, bereskan?”
“Ah, benar juga. Otakku kacau sekali.” Samudra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Namun bahkan sebelum Samudra membuka mulutnya untuk memberi Asep perintah, kehebohan yang lain memasuki ruangan itu. Pertiwi berlari dari arah halaman belakang dan nyaris terjatuh di lantai saat mengerem kakinya. Dia terengah-engah, wajahnya pusat pasi seperti baru saja melihat hantu.
“Teman-teman, p..pak Hasan! Pak Hasan!”
“Kenapa? Ada apa?” tanya Saras.
“Ikut aku, ayo ikut aku ke halaman belakang, ayo!” Pertiwi menarik lengan Yama. Mereka berdua berjalan cepat menuju halaman belakang, di susul oleh Samudra, Saras dan Asep.
“Itu, lihat!” kata Pertiwi dengan suara yang bergetar, tangannya menunjuk lurus ke arah pohon beringin besar di samping kolam renang sementara kepalanya berpaling ke arah lain.
Pertiwi berpaling bukan hanya karena dia takut pada pohon beringin itu, tetapi juga karena ngeri melihat pemandangan memilukan di sana; tubuh Hasan tergantung di salah satu dahan pohon itu, terbujur kaku, tewas karena tercekik oleh tali yang Yama kenali sebagai tali yang sama yang ada di tempat jemuran.

Bersambung

1 komentar: