Saras memekik. Dia terus berguling turun tak terkendali. Bahkan tas ransel besar yang digendongnya, alih-alih menahan tubuhnya, justru terlepas dan terlempar ke arah lain. Turunan itu begitu curam, sehingga tubuh Saras nyaris terjun bebas. Bara tidak tinggal diam, tanpa berkata apa-apa dia terjun ke bawah, berguling-guling beberapa kali sebelum berhasil mengendalikan tubuhnya dan melompat sekuat tenaga ke depan. Rasanya waktu terasa berhenti, sementara semua urat syaraf di tubuh Yama seakan menegang saat melihat Bara yang begitu nekat berhasil meraih tubuh Saras dan mendekapnya. Bagaimana jika Bara tidak seberuntung itu? Bagaimana jika dia tidak berhasil menguasai tubuhnya sendiri dan melompat tepat waktu? Tubuhnya akan terlempar sia-sia ke jurang dan lebih parahnya lagi, Saras juga tidak akan tertolong.
Setelah sempat berguling berdua. tubuh Bara
dan Saras tertahan oleh sebuah batang pohon. Bara
mengerang kesakitan karena tubuhnyalah yang menabrak batang pohon itu. Erangannya menggema, mereka jatuh ke kedalaman
sekitar delapan meter, tanpa pengaman.
“Oi, Oi! Kalian
tidak apa-apa? Bara, Saras!” teriak Arya nanar.
Sulit melihat
keadaan mereka berdua dari atas. Semua orang panik, bahkan Pertiwi tidak hanya
gemetaran, tetapi juga masih tidak mampu bangkit sejak dia terjatuh karena
gempa beberapa menit yang lalu.
“Aku harus
turun. Sam, Yama, keluarkan tali dan semua peralatan di ransel kalian. Ikat
sekencang mungkin di batang pohon yang paling kuat, AYO!” Perintah Arya panik.
Mereka bertiga
bekerja, mempersiapkan semua peralatan untuk membatu Arya turun ke bawah.
Pertiwi masih terduduk lemas, lengannya gemetaran.
“Ini, ini
seperti yang terjadi setengah tahun lalu, seperti yang terjadi pada Ema…” ratap
Pertiwi.
“Tidak, tidak,
tenanglah Tiwi, itu tidak akan terjadi lagi.” Kata Samudra “Mereka berdua akan
baik-baik saja, percaya…”
“Kalian bertiga
cepatlah! Selamatkan mereka sebelum terlambat!” bentak Pertiwi tiba-tiba.
***
Sepuluh
menit kemudian Arya turun perlahan ke bawah. Yama, Samudra dan Pertiwi
mengawasi dari atas, berdoa, berharap Bara dan Saras baik-baik saja. Tak lama
Arya berteriak, mengatakan bahwa Bara dan Saras tidak apa-apa dan meminta
mereka bertiga untuk bersiap-siap karena dia akan membantu Saras naik.
Evakuasi
berjalan lambat. Turunan yang begitu curam itu membuat Arya agak kesulitan.
Yama dan ketiga rekannya berusaha menyingkirkan kepanikan yang melanda dan
membantu Arya sekuat tenaga untuk naik. Setelah hampir dua puluh menit yang
menegangkan, Bara dan Saras berhasil di selamatkan. Betis kanan Saras terluka
cukup parah dan tangan kanannya terkilir,
sementara Bara menderita sakit punggung. Untung saja ada ransel yang
menahan bagian belakang tubuhnya, sehingga tulangnya tidak sampai patah.
Perjalananpun tertunda. Kaki dan lengan Saras sudah
dibebat dengan perban, namun dia masih meringis-ringis kesakitan, wajahnya sangat pucat, belum pernah Yama melihat Saras sepucat dan
selayu saat ini. Sedangkan Bara masih memegangi punggungnya, sama pucatnya seperti Saras. Meskipun sulit
untuk diakui, ini pertama kalinya Yama senang sekali melihat Bara. Namun lain
kali, dia bersumpah tidak akan membiarkan Bara bersikap sok pahlawan. Bara
pikir apa yang sudah dilakukannya akan membuat Saras terkesan?
“Thanks, Bara. Kau berani sekali. Aku,
aku tidak tahu akan seperti apa jadinya jika kau tidak menolongku.” Ucap Saras
lirih. Dia tersenyum setengah meringis menahan nyeri.
“Kenapa harus
berterima kasih?” Bara tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Saras dengan sayang
“memastikan kau aman, Itu sudah kewajibanku.”
Pemandangan itu
sungguh membuat Yama muak.
“Tadi itu sebenarnya apa, ya? Seperti ada bom yang
meledak.” Kata Samudra tiba-tiba.
“Iya. jika itu bom pasti bomnya besar sekali. Sampai terjadi gempa segala.”
Timpal Arya.
“Kira-kira suara tadi asalnya dari
mana, ya?” tanya Pertiwi.
“Kemungkinan dari arah alun-alun
Mandalawangi. Tidak jauh dari sini.” Sahut Bara “Guys, Sepertinya kita tidak mungkin melanjutkan
perjalanan ke puncak gunung Gede.”
“Ya, luka Saras lumayan parah.” Kata
Pertiwi, sambil memandang prihatin ke arah Saras yang masih meringis.
“Tapi kita juga tidak bisa terus-terusan
di sini. Hari sudah semakin gelap, kita harus cari tempat yang aman untuk berkemah dan merawat luka Saras.” Kata
Yama.
“Iya, karena itu kita terpaksa harus
jalan lagi. Kita harus pergi ke Mandalawangi, itu satu-satunya tempat yang
aman, jaraknya tidak terlalu jauh.” Tukas Bara “Saras, kira-kira kau sanggup tidak untuk jalan lagi?”
“Asal ada yang bantu aku, aku bisa.”
Ujar Saras mantap.
“Apa kau yakin?
Lukamu baru kubebat. Aku khawatir nanti terjadi pendarahan.” Kata Pertiwi.
“Tidak apa-apa.
Asal pelan-pelan aku yakin tidak apa-apa.” Kata Saras.
Mereka melanjutkan sisa perjalanan
menuju ke alun-alun Mandalawangi. Yama memapah Saras yang terpincang-pincang.
Kali ini Samudralah yang memimpin rombongan karena Bara juga masih kesakitan.
Tak lama mereka memasuki kawasan
alun-alun Mandalawangi. Tempat itu adalah sebuah area terbuka seluas kurang
lebih lima hektar yang dipenuhi
dengan Edelweis. Tenda-tenda segera didirikan karena hari semakin petang. Sekitar lima belas menit kemudian
dua tenda telah berdiri dan Bara menyuruh Saras untuk istirahat.
Yama tiba-tiba teringat ucapan Bara
bahwa suara ledakan tadi berasal dari Mandalawangi. Suara itu terdengar tidak
lama setelah dia melihat benda asing berasap yang jatuh dari langit.
“Apa mungkin ledakan itu berasal
darinya?” tanya Yama dalam hati “Jika Bara benar itu berarti benda itu tidak
jauh dari sini.”
Yama memandang berkeliling “Tapi di
mana?”
Yama menoleh ke arah belakang, ke arah
tenda. Tidak ada orang. Bara, Samudra dan Arya sepertinya sedang sibuk di dalam
tenda. Begitu juga dengan Pertiwi. Tanpa banyak berpikir lagi Yama melangkah
menjauhi perkemahan. Mencari benda asing itu.
***
Yama berjalan mengelilingi area luas
Mandalawangi. Sudah hampir 15 menit dia berputar-putar, tetapi belum juga
menemukan benda yang dicari. Sementara itu handy talkie-nya terus bersuara. Bara dan lainnya
sudah menyadari kepergian Yama yang tanpa izin itu.
“Yama, kau di mana? Segera kembali, sebentar lagi malam.”
Suara Bara terdengar di HT-nya.
“Berisik! Aku lagi cari kayu bakar.”
Jawab Yama ketus.
Tapi ucapan Bara benar juga, pikir
Yama. Hari memang sudah mulai petang, akan sulit sekali kembali jika tersesat.
Yama sendiri tidak tahu sampai kapan dia akan mencari keberadaan benda asing
itu. Sambil menahan jengkel dia terus berjalan, bimbang antara melanjutkan
pencarian atau kembali ke perkemahan. Sementara HT disaku celananya semakin
berisik saja.
Namun tak lama Yama melihat struktur
tanah yang aneh sekitar enam meter di depannya. Permukaan tanah di depannya itu terlihat amblas. Saat
dia mendekat samar-samar terlihat kepulan
asap hitam. Yama berlari ke depan. Matanya terbelalak saat dia mendapati sebuah kawah
besar berasap terbentang di depan matanya.
Dia terpaku beberapa saat. Kemudian
matanya menangkap sebuah objek aneh di antara asap yang mengepul. Sebuah benda
hitam, berbentuk mirip kapsul. Yama berusaha menajamkan penglihatannya namun
sia-sia karena tempat itu makin gelap. Karena itu akhirnya dia memutuskan untuk
turun ke dasar kawah.
Perlahan Yama berjalan mendekati benda
itu. Profil kapsul itu semakin jelas seiring dengan memendeknya jarak antara Yama dan benda
itu. Sekarang Yama dapat melihatnya dengan jelas. Benda itu memang sebuah
kapsul, berwarna abu-abu dan berukuran sebesar Tangki Air. Ujung kapsul itu
berwarna metalik, sementara bagian utamanya dipenuhi pola-pola aneh, semacam
tulisan atau simbol.
Dia memberanikan diri untuk menyentuh
kapsul itu. Kemudian berjalan mengelilinginya sembari mengamati setiap bagian
dari benda asing itu.
“Keren.” Bisik Yama “Ternyata hal-hal
aneh semacam ini memang ada.”
Kemudian ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Sebuah lingkaran kecil berpendar kemerahan. Kontras sekali dengan
hari yang mulai petang. Yama memperhatikannya dengan seksama lalu menyentuh
lingkaran itu.
Tiba-tiba terdengar suara desisan
keras, disusul oleh terangkatnya ujung kapsul yang berwarna metalik itu. Yama
yang kaget jatuh terduduk, menganga saat enam sinar berwarna Merah, Biru,
Kuning, Hijau, Putih dan Hitam tiba-tiba melesat dari ujung kapsul yang
terbuka. Sinar-sinar itu terbang ke udara. Setelah itu puluhan sinar berwarna
abu-abu menyusul, melesat ke langit malam dan berpencar ke segala arah.
Yama tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia
bersusah payah bangkit karena menahan tubuhnya yang gemetar.
“Sebenarnya benda apa ini?” bisik Yama.
Lalu tiba-tiba dia merasa ada sesuatu
yang menabraknya dari belakang. Yama tersungkur, jatuh tepat di depan kapsul
itu. Dia lalu berteriak karena di tangannya mendadak muncul kobaran api
berwarna hitam yang menjalar dengan cepat.
Yama berlari serabutan, menepuk-nepuk
tubuhnya dengan panik. Sementara api hitam itu terus menjalari tubuhnya, hampir
mencapai wajahnya. Yama berguling, melompat-lompat, terus melakukan apa saja
yang dia rasa mungkin bisa memadamkan api hitam di tubuhnya. Namun, alih-alih padam karena semua usaha yang
dia lakukan, api hitam itu justru semakin membesar. Sementara suara Bara masih terdengar di HT miliknya yang terjatuh dan ikut
terbakar.
“Yama, jawab Yama, ada apa
sebenarnya? Kau kenapa? Yama!”
Yama terjatuh di tanah, tubuhnya sudah
sepenuhnya terbakar. Dia tidak bisa bergerak lagi. Dia hanya bisa mendengar
suara kemeresak dari HT miliknya yang terbakar habis sebelum akhir mendengar
suara Ngiiiiiinggg panjang di
telinganya. Dia tidak sadarkan diri.
***
“Bagaimana? Masih belum ada jawaban?” Saras keluar
dari tenda, terpincang-pincang mendekati teman-temannya yang mengerumuni Bara.
“Tidak ada jawaban sama sekali, terakhir dia hanya bilang kalau dia sedang mencari kayu
bakar.” Sahut Bara. Wajahnya terlihat panik dan jengkel sekali.
“Aduh kemana sebenarnya anak itu. Suka
sekali dia bikin sensasi.” Gerutu Arya.
“Atau kita cari saja dia, jika hanya menunggu jawabannya sih hasilnya pasti nihil.” Usul
Samudra.
“Tapi kita akan cari kemana Sam? Dia
kan bilang mau cari kayu bakar, itu berarti dia masuk hutan kan? Pasti akan sulit sekali mencarinya apalagi sudah gelap begini.” Kata
Arya.
“Lantas bagaimana? Tidak mungkin kita hanya diam begini.” ucap
Samudra, memandang Pertiwi dan Saras, meminta dukungan “Bara, bagaimana?”
Bara terdiam sejenak, tampak berpikir
keras.
“Oke, Aku dan Arya akan cari dia.
Sam, kau di
sini saja,
jaga Saras sama Tiwi.” Kata Bara.
***
Yama merasa ada sesuatu di dalam
tubuhnya yang membuat dirinya sadar. Perlahan dia bisa merasakan tubuhnya, bisa
merasakan sikutnya yang sakit akibat berguling-guling, bisa merasakan pegal di
beberapa bagian tubuhnya. Kemudian dia berusaha bangkit, menopang tubuhnya
dengan kedua tangannya dan melihat tangannya yang sama sekali normal, tanpa luka bakar
sedikitpun, hanya belepotan tanah. Padahal dia sangat yakin, beberapa saat yang
lalu tubuhnya terbakar.
“Apa-apaan ini?” bisik Yama.
Yama berdiri, kemudian dia melihat sisa
api hitam di tanah tidak jauh darinya. Itu HTnya yang terbakar. Dia berjongkok,
mengamati Api hitam yang terus melumat HT miliknya. Tak lama dia melihat
keanehan lainnya. Api itu tiba-tiba padam, kemudian dari sisa alat itu muncul sebuah
benda aneh. Benda itu berbentuk persegi panjang, ada sebuah layar yang cukup
besar di tengahnya ditemani 3 buah tombol kecil berwarna Merah, Hijau dan
Abu-abu di sebelah kiri atas Layar dan dua buah tombol besar berwarna putih di
bawah layar.
Berkali-kali mendapatkan kejutan
membuat dia ragu-ragu untuk memungut benda asing berbentuk mirip gadget tersebut. Namun
rasa penasarannya yang besar membuat dia memutuskan untuk memungutnya.
Yama terkesima, benda itu dingin,
padahal jelas-jelas benda itu keluar dari sisa-sisa plastik dari HT yang
terbakar. Yama terus mengamati benda itu. Lalu layar benda itu mulai
berkedip-kedip, berkedip-kedip, berkedip-kedip, sampai akhirnya menyala terang,
membuat Yama tersentak dan menjatuhkannya.
“Bisakah kau tenang sedikit, manusia
Bumi?”
Mata Yama terbelalak, di depannya
berdiri makhluk aneh dan mengerikan. Tubuhnya berwarna hitam dengan dua mata
yang menyala merah, ada sepasang tanduk di kepalanya dan, ya tuhan, hati Yama
mencelos, makhluk itu tidak memiliki kaki yang utuh, sepertiga bagian dari
kakinya tidak ada. Jadi, alih-alih berdiri dengan kedua kakinya, makhluk ini
melayang di udara dengan kedua kaki yang nyaris hilang.
Yama bergerak mundur, ketakutan.
Makhluk itu melayang maju ke arahnya.
“Si..., siapa kau?”
“Aku Vivandak, utusan dari Graphene,
alat yang kau jatuhkan tadi adalah Samael Samvid. Api hitam yang membakar tubuhmu adalah tanda bahwa salah satu dari Samael Soul yang terlepas telah
masuk ke dalam tubuhmu.” Ujar Vivandak.
“A..., apa??”
Vivandak lalu melayang, menepi, membuat
Kapsul besar yang sedari tadi terhalang olehnya kini bisa Yama lihat dengan jelas.
“Lihat itu.” Kata Vivandak “Anak bodoh,
kau telah
membuat kesalahan besar dengan membuka segel kapsul itu. Kapsul itu adalah
senjata pemusnah massal yang akan aku singkirkan sejauh mungkin dari alam
semesta. Dalam perjalanan aku mengalami sedikit masalah sehingga aku terjatuh
ke Bumi. Saat aku berniat untuk membawanya keluar dari sini kau datang dan dengan
seenaknya membuka segel kapsul itu.
“Sekarang kau harus bertanggung
jawab. Kau
harus menyegel kembali kapsul ini. Kapsul ini bisa meledak kapan saja dan menghancurkan setengah bagian planetmu.”
“Apa? Aku harus bertanggung jawab? Tapi
itu juga kesalahanmu, kau tidak becus membawa bom besar itu...”
Secepat kilat Vivandak menghampiri
Yama. Tahu-tahu makhluk itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Dia
mencengkeram kerah baju Yama dan menggeram.
“Manusia Bumi yang banyak bicara, hanya
seorang Samael saja yang dapat menyegel kapsul itu dan kaulah orangnya.”
Lalu secepat kilat dia berpindah tempat
lagi.
“Untuk menyegel kapsul itu dibutuhkan lima Samael Soul dari FLAME, SAND, SEA, WIND dan LIGHT.
Untuk mendapatkannya kau harus mencari dan mengalahkan mereka. Setelah mendapatkan kelima Soul
dari lima Samael itu aku akan membantumu menyegel kapsul ini.” Ujar Vivandak.
“Kau pikir aku mau melakukannya?” kata Yama.
Vivandak menggeram “Baik, kalau kau memang tidak mau
melakukannya. Tapi ingat, jika kapsul ini meledak maka akan banyak sekali manusia yang mati. Kau akan merasa sangat
bersalah jika hal itu terjadi. Kau seharusnya dapat mencegahnya tapi kau justru mengabaikannya. Mungkin saja bukan jika
di antara mereka yang mati sia-sia ada orang-orang yang kau cintai, orang-orang
yang sangat berarti bagimu?”
Yama tertegun. Dia terdiam sejenak.
Lalu bayang-bayang aneh memenuhi benaknya; gedung-gedung tiba-tiba hancur,
orang-orang berlarian dengan panik kesana-kemari tak tentu arah, kekacauan terjadi di mana-mana.
Kemudian tiba-tiba wajah Saras yang tersenyum muncul. Disusul Bara, Arya,
Samudra dan Pertiwi. Dan kemudian wajah sang kakak. Ya, sang kakak, yang sudah
bertahun-tahun pergi meninggalkannya sendirian. Mereka tidak boleh mati, pikir Yama, mereka jelas
tidak boleh mati. Karena mereka,
karena mereka adalah orang-orang yang berarti baginya.
Perlahan Yama bangkit. Setelah
membersihkan pasir yang mengotori baju dan lengannya dia berkata.
“Baik, aku bersedia. Tapi aku melakukannya bukan untukmu, melainkan untuk orang-orang yang aku sayangi. Sebenarnya aku tidak sudi menuruti
perintah makhluk jelek yang dengan
seenaknya memanggilku bodoh.”
Vivandak tertawa “Terserah kau saja, anak bodoh. Lagipula Ini sudah menjadi tanggung jawabmu.”
“Jangan banyak bicara lagi, sekarang
beritahu aku, dari mana aku harus memulai?” Tanya Yama.
“Aku sudah mengatakannya padamu.
Carilah lima Samael yang lain. Kau hanya perlu mengalahkan mereka dan mengambil Samael Soul dari mereka.
Namun ada satu hal yang harus kau perhatikan.” Kata Vivandak “Selain telah membuka segel, mengaktifkan
senjata pemusnah massal dan melepas Samael Soul, kau juga telah melepas puluhan Raksas Soul.”
“Raksas Soul?”
Vivandak mengangguk “Raksas Soul adalah
jiwa dari para monster dari Graphene. Selain harus menghadapi Samael yang lain, kau juga harus menghadapi
para Raksas karena Soul mereka adalah kunci bagi seorang Samael untuk dapat menggunakan kekuatannya.”
Kepala Yama langsung
pusing. Mimpi apa dia semalam? Dia hanya menekan satu tombol, tetapi tanggung
jawab yang harus dipikul setelahnya sangat tidak main-main.
Vivandak memungut
Samael Samvid yang tergeletak di tanah dan melemparkannya pada Yama. Yama menangkapnya.
Dia mengamati sejenak benda itu. ini buruk, pikir Yama, entah apa yang akan
terjadi padanya selanjutnya. Senjata pemusnah massal? Mencari dan mengalahkan
lima orang yang tidak dikenalnya? Berurusan dengan monster? Yama merasa dirinya
tengah berada disatu scene dalam salah satu serial superhero Jepang yang sangat
Arya gemari di mana sang pahlawan baru saja mendapat kekuatan untuk
menyelamatkan dunia. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Karena itu
demi segera lepas dari tatapan makhluk aneh bernama Vivandak itu dia berkata.
“Baiklah, sekarang aku harus kembali ke
perkemahan. Teman-temanku pasti mengkhawatirkanku.”
***
Keributan seketika terjadi setelah Yama
muncul. Saras, Pertiwi, Samudra dan Arya tidak henti-hentinya mengomeli Yama
yang, seperti biasanya, berlagak
cuek. Setelah puas mengadili Yama yang bandel merekapun
tidur karena harus pergi dari Mandalawangi pagi pagi sekali.
Keesokan harinya mereka bergegas turun
gunung. Perjalanan pulang terasa jauh lebih berat karena Saras yang terluka masih
memerlukan bantuan teman-temannya untuk berjalan. Meskipun begitu mereka
berhasil kembali ke Villa milik keluarga Tanujaya pukul empat sore.
Yama terus memikirkan kejadian luar
biasa yang dialaminya di Alun-alun Mandalawangi, merenung di teras lantai dua
Villa, memandangi langit yang semakin gelap. Dia masih mengira pertemuannya dengan Vivandak hanyalah mimpinya saja. namun Samael Samvid yang kini
ada di genggamannya membuat dia tersadar bahwa kejadian malam itu nyata. itu
berarti Bumi beserta isinya sedang berada di bawah ancaman sebuah kapsul aneh
yang ternyata senjata pemusnah massal, itu berarti orang-orang yang Yama
sayangi benar-benar terancam jiwanya.
Memikirkan hal
di luar nalar seperti itu membuat kerongkongannya kering. Yama turun, menuju dapur
untuk minum. Sembari memegangi gelasnya yang berembun karena terisi air dingin,
dia bersandar di pintu, menghadap tempat jemuran. Saat itu
Saras muncul dari belakang. Kaki
dan tangannya masih terbebat perban dan jalannya pincang.
Yama buru-buru menyembunyikan Samael Samvid yang dia pegang.
“Kau lagi ngapain?” tanya Saras saat dia sudah
berada di samping Yama.
“Uhm, cuma sedang
melamun saja.”
Sahut Yama.
“Melamun?”
Saras susah payah membuka pintu lemari es “Ternyata susah ya membuka lemari es dengan tangan kiri saat tangan
kanan terkilir begini”
“Mau kubantu?”
tanya Yama.
“Tidak usah.”
Saras tersenyum “Aku bisa sendiri.”
Yama mengangguk
paham, lalu dia kembali bersandar di pintu. Setelah menuang sendiri minumannya
ke dalam gelas, Saras terpincang-pincang berjalan mendekati pintu. Dia lalu
bersandar di sisi lain pintu. Sama-sama menghadap tempat jemuran.
“Kau sedang
melamunkan apa?” Saras bertanya.
“Bukan apa-apa, bukan hal penting.”
Jawab Yama, melirik Saras yang juga meliriknya “Kau sendiri kenapa ke sini?”
“Aku juga mau melamun di sini.” Sahut
Saras.
“Melamun? Melamunkan apa?” Yama meniru ucapan Saras, membuat
gadis itu tertawa.
“Aku hanya mau merenung tentang...” Saras melirik Yama,
memandangnya sesaat lalu mendongak memandang langit “... tentang hubungan
kita.”
Yama tertegun.
“Kenapa kau masih memikirkan tentang hal itu?” tanyanya.
“Aku, aku hanya...”
“Minggir!
Minggir!”
Samudra muncul.
Dia tergopoh-gopoh membawa tangga bersama Asep. Samudra terlihat agak kesal.
“Tangga ini
seharian disembunyikan di pos satpam. Aku tidak mengerti, kenapa Satpam bengal
itu tidak langsung mengembalikan tangga ini ke tempat semula setelah selesai
memakainya. Benar-benar tidak disiplin. Sini Asep, betulkan tali-tali jemuran
ini, loh…”
Samudra
melongo, kepalanya mendongak, menatap tali-tali jemuran di atasnya “Tali
jemurannya tinggal dua baris. Kemana tali-tali yang kemarin kendur? Kenapa
tidak ada?”
“Mungkin sudah
dilepas oleh Asep.” Kata Yama.
“Maaf, tapi
saya tidak melepas satu tali jemuranpun.” Timpal Asep segera.
“Lalu siapa
yang melepasnya? Kenapa dilepas? Seharusnya dikencangkan, bukan dilepas.”
Gerutu Samudra.
“Hei, cuma
masalah tali saja heboh begitu. Kenapa tidak beli saja yang baru?” tanya Saras
geli.
“Tidak bisa,
toko kelontongnya jauh dari sini, aku masih capek.” Balas Samudra, nadanya
bicaranya benar-benar kesal “Ya tuhan, badanku sedang kelelahan begini,
seharusnya aku bisa istirahat, tapi masalah tali jemuran saja bisa luput begini
dari pengawasan, masa harus aku yang turun tangan?”
Saking
gemasnya, Yama memukul dahinya sendiri “Suruh saja Asep pergi, bereskan?”
“Ah, benar
juga. Otakku kacau sekali.” Samudra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Namun bahkan
sebelum Samudra membuka mulutnya untuk memberi Asep perintah, kehebohan yang
lain memasuki ruangan itu. Pertiwi berlari dari arah halaman belakang dan
nyaris terjatuh di lantai saat mengerem kakinya. Dia terengah-engah, wajahnya
pusat pasi seperti baru saja melihat hantu.
“Teman-teman,
p..pak Hasan! Pak Hasan!”
“Kenapa? Ada
apa?” tanya Saras.
“Ikut aku, ayo ikut
aku ke halaman belakang, ayo!” Pertiwi menarik lengan Yama. Mereka berdua
berjalan cepat menuju halaman belakang, di susul oleh Samudra, Saras dan Asep.
“Itu, lihat!”
kata Pertiwi dengan suara yang bergetar, tangannya menunjuk lurus ke arah pohon
beringin besar di samping kolam renang sementara kepalanya berpaling ke arah
lain.
Pertiwi
berpaling bukan hanya karena dia takut pada pohon beringin itu, tetapi juga
karena ngeri melihat pemandangan memilukan di sana; tubuh Hasan tergantung di
salah satu dahan pohon itu, terbujur kaku, tewas karena tercekik oleh tali yang
Yama kenali sebagai tali yang sama yang ada di tempat jemuran.
Bersambung
Bersambung
artikel yang sangat keren
BalasHapuskunbal ya bang-gas.blogspot.com