Matahari sudah tinggi saat seseorang berlari terengah-engah di antara kerumunan para mahasiswa di koridor kampus Udyanasapta. Dia melaju seperti sedang mengejar sesuatu yang amat sangat penting sehingga tidak mempedulikan orang-orang yang meneriaki namanya dengan jengkel karena tidak sengaja tertabrak olehnya. Sementara dua puluh meter dari tempat itu, Bara Dinata, ketua Sathriyapala, organisasi mahasiswa pencinta alam di Udyanasapta, sedang berdiri membelakangi White board di ruang UKM, menghadapi empat rekannya, yang merupakan tim inti dari organisasi itu.
“Kemana
Yama? kenapa jam segini dia belum datang juga?” Gerutu Bara pelan
sembari melihat jam di tangannya.
“Sudahlah kita mulai saja rapatnya.
Yama kan sudah biasa datang terlambat. Tidak usah ditunggu, nanti juga dia muncul.” Usul Arya Prasetya di pojok ruangan. Ananda
Pertiwi, yang duduk di depannya, membalikkan badan dan tiba-tiba menggebrak
pelan meja Arya.
“Tidak setia kawan! Biarinkan sekali-kali Yama ikut
rapat dari awal sampai selesai.” Sungut Pertiwi.
“Yak, kau benar Tiwi, aku setuju.
Biarkan Yama ikut rapat ini dari awal sampai selesai.” Timpal Samudra Tanujaya yang
duduk di depan, di sebelah meja Saras Nindya sembari menunjuk Pertiwi dengan
gaya.
“Kalau begitu kita tunggu dia sebentar
lagi.” Pinta Saras pada Bara.
Bara menghela nafas, kemudian
mengangguk pelan. Tak jauh dari ruang UKM, tepatnya di koridor, jumlah
mahasiswa yang jengkel karena bahunya terserempet semakin banyak. Orang itu
masih terus berlari, nafasnya tersengal-sengal. Dia mendekati ruang UKM dan
semakin mempercepat laju kakinya. Dia baru berhenti saat pintu ruang UKM tepat
berada di depan wajahnya. Tangannya yang gemetar segera meraih gerendel pintu.
Saras, yang mendengar suara pintu yang
hendak dibuka sontak mengalihkan pandangannya ke arah pintu, diikuti oleh
teman-temannya.
“Nah itu dia.” Celetuk Samudra.
Perlahan pintu terbuka. Di saat
perhatian semua orang di ruangan tertuju ke arah pintu, sebuah kepala menyembul
keluar dari luar ruangan. Pemilik kepala itu terbelalak, lalu tersenyum salah
tingkah. Beberapa detik dia dan seluruh penghuni ruangan saling pandang.
“Ma... maaf, saya salah ruangan.” Ternyata
dia hanya seorang gadis berkacamata yang salah masuk ruangan. Pertiwi bergumam
kecewa, Bara menggaruk kepalanya.
Gadis itu masih tersenyum salah tingkah
saat dia secara perlahan menutup pintu, namun kali ini sebuah moncong sepatu melongok dari luar,
menahan daun pintu yang hendak menutup. Tak lama seorang laki-laki muncul, tingginya hanya setara telinga semua laki-laki
di ruangan, berkacamata dan terlihat angkuh meskipun
pipinya belepotan cat minyak. Setelah menutup pintu, laki-laki itu
melangkah mendekati meja di sebelah Saras dan tanpa berkata apa-apa dia mendudukkan
diri.
“Yama, Kau telat lagi.” kata Bara.
“Bukannya biasanya juga seperti ini? Sudah, mulai saja
rapatnya.” Sahut Yama cuek.
Bara menatap tajam Yama beberapa saat,
lalu menghela nafas lagi dan mulai bicara. Di tengah suara Bara, Saras terus memperhatikan Yama.
Yama yang berpura-pura tidak tahu akhirnya menyerah dan mengalihkan pandangannya pada Saras. Gadis itu
tersenyum lalu menyentuh pipinya sendiri, memberi tanda bahwa ada sesuatu di
pipi Yama. Yama mengerti dan bergegas mengusap pipinya. Tangannya langsung
dipenuhi oleh cat minyak. Saras tertawa kecil lalu mengalihkan pandangannya
pada Bara yang sedang berbicara panjang lebar mengenai jalur pendakian.
“...Jadi kita akan memilih jalur
pendakian Cibodas untuk pendakian ke puncak Pangrango dan gunung Gede. Jalur
ini aku rasa lebih aman dari pada jalur pendakian Salabintana....”
“Tunggu, tunggu.” Yama menyela “Kau
menjelaskan jalur pendakian pada kita seolah-olah kita memang akan mendaki
lagi. Kau bahkan belum meminta persetujuan anggota lain.”
“Maaf Yama, tapi aku sudah meminta
pendapat anggota yang lain. Voting sudah dilakukan beberapa hari yang lalu dan hasilnya
kita sepakat akan segera melakukan pendakian. Sayang sekalikau tidak hadir waktu
itu.” Ucap Bara, tersenyum mengejek ke arah Yama. Yama langsung cemberut
“Kita sudah tidak bisa diam lagi.” Bara
melanjutkan “Sathriyapala udah terlalu lama tertidur. Dari sekian banyak unit
kegiatan mahasiswa di Udyanasapta, Sathriyapala yang paling sedikit peminatnya,
itu karena kita sudah terlalu lama tidak melakukan kegiatan apapun. Sekarang sudah
saatnya kita tunjukkan ke mahasiswa lain kalo organisasi kita ini masih hidup!”
Pertiwi tiba-tiba bertepuk tangan.
“Aku setuju! sudah lama kaki ini tidakmerasakan
pijatan dari batu-batu di pegunungan dan hidung ini...” Pertiwi menunjuk
hidungnya “... sudah lama sekali tidak
menghirup dengan susah payah oksigen yang tipis di puncak gunung.”
“Oh, jadi kau kangen saat-saat dimana kau
sesak nafas dan hampir menangis?” Samudra menimpali.
“Hampir menangis? Kapan aku hampir menangis? Aku tidak pernah menangis dipendakian.” Sanggah
Pertiwi.
“Wah, apa kau lupa? Waktu kita ke gunung
Semeru kau pernah mengeluh padaku...” Samudra berdehem, lalu menirukan suara Pertiwi “‘Susah sekali
bernafas di sini Sam’, ‘Aduh rasanya paru-paruku hampir kering’,’Sam aku butuh oksigen, aku butuh oksigen’ dan matamu berkaca-kaca
waktu bicara
begitu.”
“Mataku berkaca-kaca bukan karena menangis, waktu itu mataku
kemasukan debu.” Seru Pertiwi membela diri.
“Aduh Tiwi, anak kecil juga tahu
bedanya mata yang hampir menangis dengan mata yang kemasukan debu, aku yakin
waktu itu kamu ham...”
“Baik.” Yama menyela ucapan Samudra
“Boleh saja pendakian ini dilakukan. Tapi aku tidak yakin sama sekali jika
rencana ini akan menghidupkan kembali Sathriyapala seperti yang kau bilang,
Bara.”
Bara menatap Yama, menunggu laki-laki menyebalkan itu
melanjutkan kalimatnya yang menggantung. Seisi ruangan menunggu, termasuk
Samudra dan Pertiwi, yang perang mulutnya terhenti karena ucapan pesimis yang
baru saja Yama lontarkan.
“Yah, sudah menjadi rahasia umum bukan, bahwa, sebagian besar
mahasiswa di kampus ini meragukan kredibilitasmu sebagai ketua Sathriyapala.”
Yama melanjutkan.
Bara tertegun, tiba-tiba ada kemarahan
dan rasa malu terlukis di wajahnya. Namun Bara menahannya, karena melihat Saras
yang memberikan tatapan Jangan-pedulikan-ucapannya. Sebagai ganti amarahnya
yang seharusnya sudah meledak Bara lalu menghela nafas lagi.
“Oke, jalur pendakian sudah ditentukan.
Kita akan segera melakukan booking dan mengurus perijinan. Arya, lusa kita akan berangkat
ke sana untuk mengurus semuanya. Saras, besok tolong kau urus perijinan ke
Rektor.” Kata Bara, Berusaha untuk mengabaikan ucapan Yama.
“Siap!” Seru Arya.
Saras mengangguk.
“Tapi kau harus memastikan tidak ada
kesalahan lagi kali ini, atau Sathriyapala akan benar-benar mati. Kau tidak mau kan kalau anggota kita
semakin berkurang cuma gara-gara kesalahan kecil?” Kata Yama.
Kali ini sepertinya Bara tidak bisa
menahan diri.
“Sebenarnya maksudmu itu apa?” tanya
Bara. Nada bicaranya mulai meninggi.
Yama mendengus “Tentu saja, kesalahan
yang kau perbuat setengah tahun lalu, dipendakian terakhir kita.”
“Oh, jadi kau pikir kejadian setengah
tahun yang lalu itu murni kesalahanku?” Tanya Bara jengkel. Emosinya sudah
terpancing.
“Bukannya semua orang juga berpikir
begitu, ya?” Yama balik bertanya dan hal itu membuat Bara terlihat semakin marah.
“Sudah cukup!” bentak Saras “Apa tidak
ada hal lain yang bisa kalian perdebatkan selain kejadian yang udah berlalu? Banyak
hal penting yang harus kita urus. Simpan tenaga dan pikiran kalian untuk itu.
Tingkah kekanak-kanakan seperti ini yang justru akan membuat Sathriyapala
semakin terpuruk.”
Yama dan Bara sama-sama menunduk
mendengar ucapan Saras. Meskipun begitu, sedetik kemudian mereka kembali saling
tatap, bertukar pandangan benci.
***
Rapat sudah selesai dan keputusan sudah
diambil. Sathriyapala akan kembali melakukan aktivitasnya setelah rehat selama
setengah tahun. Yama berjalan di koridor yang ramai. Dia sudah meninggalkan lukisannya di taman
depan gedung fakultas seni rupa tempat dia biasa melukis demi menghadiri rapat
pertama sejak mati surinya organisasi itu. Udyanasapta yang merupakan salah
satu Institut Kesenian terbesar di Indonesia itu memang memperbolehkan
siswa-siswanya mengekspresikan bakatnya di semua sudut kampus. Maka tidak heran
jika kampus ini tidak hanya ramai oleh mahasiswa yang berdiskusi di koridor atau duduk
membaca buku di taman, tetapi juga riuh oleh sekelompok siswa yang berlatih
peran di dekat air mancur, saling adu suara di belakang gerbang kampus, duduk
berderet sembari membuat patung tanah liat di dekat pos satpam dan masih banyak
lagi.
“Yama, tunggu!”
Samudra tergopoh-gopoh, setengah
berlari mengejar Yama yang bahkan tidak menoleh sedikitpun karena panggilannya.
Saat jarak antara dirinya dan Yama sudah dekat, dia menarik bahu Yama dengan
tidak sabar hingga tubuh Yama berbalik. Yama yang langkahnya dihentikan secara
paksa nampaknya merasa tidak senang karena dia memberi Samudra tatapan masam.
“Tolong aku.” Kata Samudra.
“Aku sibuk.” Ucap Yama singkat. Dia
lalu bergegas pergi, namun Samudra kembali menarik bahunya.
“Ayolah, sebentar saja. Aku mohon, cuma
kau yang bisa menolongku.” Samudra menoleh ke belakang, kemudian menoleh ke
samping kirinya, seperti sedang memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah
itu dia menyodorkan lipatan kertas yang baru saja dia keluarkan dari saku
celana pada Yama “Tolong pecahkan teka-teki ini.”
“Teka-teki lagi?” Yama menatap nanar
kertas di tangan Samudra.
Samudra mengangguk “Ini syarat kencan
dari Pertiwi. Dia memberi aku waktu sampai jam 6 sore ini untuk memecahkannya.
Jika tidak ajakan kencanku malam minggu nanti akan dia tolak.”
Yama mendengus “Konyol sekali.”
Dia menarik kertas itu dari tangan dan mulai sibuk membuka lipatan kertasnya. Dahi Yama berkerut
mendapati kalimat singkat yang tertulis di kertas itu.
Jalinan rantai dimulai, Meliukan
kaki dan tangan penuh penghayatan dalam hal indah nan memanjakan telinga
di antara damainya tujuh taman.
Yama
terdiam. Matanya fokus pada tulisan itu sementara dahinya masih berkerut, tanda
sedang berpikir. Samudra juga ikut mengamati kertas dari Pertiwi itu dengan
alis terangkat.
“Aku
butuh waktu dua jam untuk menafsirkan kalimat ini, mencari definisi setiap
katanya di Google, mencari tahu hubungan
semua katanya dengan Pertiwi, bahkan menggabungkan huruf depan semua kata, tapi
aku hanya mendapatkan kata yang, bahkan dibaca pun tidak
bisa. Sampai akhirnya aku benar-benar menyerah?” ujar Samudra.
Sekali lagi Yama mendengus. Masih
menggenggam kertas berisi teka-teki, Yama membalikkan tubuhnya lalu mulai
berjalan meninggalkan Samudra.
“Hey, kau mau kemana?”
“Gedung INITIAL.” Sahut Yama.
***
INITIAL adalah klub tari Udyanasapta.
Mereka memiliki gedung sendiri tempat mahasiswa dari semua jurusan di Fakultas
seni tari melakukan latihan. Gedung itu agak jauh dari gedung fakultas seni
tari dan bersebelahan dengan taman yang bertetangga dengan lapangan basket di
bagian belakang kampus yang rindang. Ke gedung itulah Yama sekarang berjalan,
mengabaikan Samudra yang terus memanggilnya.
“Kenapa kita ke sini? Bagaimana dengan
teka-tekinya? Apa kau sudah tahu jawabannya?” Samudra memberondong Yama dengan
pertanyaan saat mereka sampai di gedung INITIAL.
Yama mendongak menatap gedung itu, lalu
tersenyum “Gedung ini jawabannya.”
Samudra terbelalak “Oh ayolah, Jangan
bercanda. Teka-teki itu penting sekali buatku...”
Tiba-tiba Yama menyodorkan kertas
teka-teki hingga begitu dekat ke wajah Samudra.
“Aku tidak bercanda. Gedung ini memang
jawabannya. Teka-teki sampah ini memiliki kunci jawaban, hanya saja kau terlalu
malas untuk berpikir!” gerutu Yama kesal. Wajah Samudra tersembunyi sepenuhnya
di balik kertas teka-tekinya “Kalimat terakhir, di antara damainya tujuh taman, yang dimaksud oleh kalimat itu
adalah kampus ini karena Udyanasapta berarti tujuh taman. Apa kau tidak pernah
membaca profil kampus di website?”
Di balik kertas Samudra
menggeleng tetapi Yama tidak mempedulikannya karena dia segera melanjutkan
ucapannya.
“Dengan begitu kalimat tadi menjadi
kuncinya. Jawaban dari teka-teki ini pastilah ada di sekitar kampus. Kalimat
berikutnya pun cukup mudah dimengerti, hal
indah nan memanjakan telinga? tidak ada hal lain yang bisa melakukan itu
selain musik. Lantas siapa yang biasanya meliukkan kaki dan tangan dengan penuh
penghayatan dalam musik? Penari!
Penari yang ada di Udyanasapta! Namun karena teka-teki ini nampaknya tidak menunjuk
satu individupun maka aku mengartikannya sebagai tempat berkumpulnya para
penari di Udyanasapta, gedung ini.”
Yama menyingkirkan kertas teka-teki di
tangannya dari wajah Samudra. Samudra mengerjap, tak lama senyumnya tersungging
“Jadi teka-tekinya sudah terpecahkan? INITIAL, itu jawabannya?”
Yama menggeleng. Gelengan itu seketika
menghapus cengiran di wajah Samudra.
“Teka-teki ini belum selesai, kalimat
paling awal, Jalinan rantai dimulai, membuat aku menduga bahwa
Pertiwi tidak hanya menyiapkan satu teka-teki saja. Dengan kata lain teka-teki
ini hanya permulaan dan masih ada
teka-teki lain yang harus dipecahkan. Teka-teki berikutnya
pasti ada di sekitar gedung ini.”
“Merepotkan
sekali.” Gerutu Samudra “Lantas teka-teki berikutnya, kira-kira bentuknya
seperti apa?”
“Mana kutahu.”
Sahut Yama tidak sabar “Bisa berbentuk apa saja, kertas, kain, daun, apa saja.
Yang jelas seharusnya Pertiwi tidak menggunakan media dengan warna mencolok,
atau teka-tekinya akan mudah ditemukan.”
Samudra
mengikuti dari belakang takkala Yama melangkah memasuki koridor gedung. Mereka
memutari tempat itu, mencari teka-teki berikutnya. Kepala Yama bergerak sangat
aktif, menoleh ke kiri, ke kanan, lalu ke bawah dan ke atas. Dia terlihat
seperti paranoid yang curiga pada seluruh bagian gedung tari. Yama bahkan
sempat berhenti di kolam ikan kecil di pinggir gedung untuk sekedar memeriksa
beberapa pot di sana.
Sepuluh menit
berlalu, tapi aksi Yama menyapu hampir seluruh bagian gedung yang bisa
dijangkaunya tidak membuahkan hasil, sampai akhirnya…
“Yama.” Samudra
memanggil. Dia berhenti di depan papan pengumuman di samping pintu masuk
sembari menunjuk secarik kertas berwarna pink yang menempel di kaca.
Yama buru-buru
menghampiri. Setelah memandangi kertas itu sesaat dia mencabutnya.
“Tidak
menggunakan media dengan warna mencolok, eh?” kata Samudra. Nada bicaranya geli
“Dia pakai kertas pink.”
“Aneh.” Kata
Yama heran “Dia tidak membuat teka-tekinya menjadi lebih tersembunyi.
Jangan-jangan…”
Kertas itu
lebih tebal dari sebelumnya. Namun isinya tetap sama, berupa kalimat singkat
berbunyi :
Berada di antara mereka (―) yang bertemu pada satu titik. Terkesima dengan penglihatan tetap yang
cukup lama. Kau kekar seperti Adam.
Di bawah
kalimat itu terdapat sebuah tanda panah hitam dengan ujung mengarah ke kiri.
Dahi Yama kembali berkerut lagi. Matanya menatap bergantian barisan kalimat itu
dan anak panah di bawahnya. Dia mulai berpikir.
“Bertemu pada
satu titik? Lalu tanda di depan kata mereka itu, tanda minus?”
“Bukannya itu
garis?” Samudra menyela.
“Garis? Jangan
konyol…”
“Lihat saja.”
Ucap Samudra “Itu seperti coretan lurus. Lagipula tanda minus tidak sepanjang
itu. Bisa jadi kan Pertiwi berniat menggambar garis?”
Yama merenung.
Jika mereka yang Pertiwi maksud adalah garis maka mungkin maksud dari kalimat
pertama adalah lebih dari satu garis yang bertemu pada satu titik, karena
Pertiwi menggunakan kata ‘mereka’.
“Sudut.” Gumam
Yama dalam hati “Kalimat pertama adalah sudut. Kalimat kedua berhubungan dengan
mata, mata yang melihat ke satu titik dalam waktu yang lama, mata yang
memandang. Ya, pandangan. Sudut pandangan? Tidak, ini sudut pandang. Lalu,
Adam? Sudut pandang Adam? Sudut pandang laki-laki? Tidak, tidak. Adam? Adam
adalah…”
Mata Yama terbelalak.
Samudra mengartikannya sebagai Yama telah menemukan jawabannya. Dia menanyakan
hal itu tapi Yama bahkan tidak menoleh sedikitpun. Yama masih asyik dengan
teka-tekinya.
“… Adam adalah
manusia pertama. Itu berarti, sudut pandang manusia pertama, tidak, sudut
pandang orang pertama.” Kali ini dia tersenyum lebar “Aku, jawabannya adalah Aku.”
“Bagaimana?
Sudah ketemu jawabannya?” Samudra kembali bertanya.
Sekali lagi
Yama tidak menggubris pertanyaan Samudra. Dia sedang sibuk mengamati tanda
panah di bawah teka-teki yang baru saja dia pecahkan. Matanya menoleh dan
menatap lurus ke kiri, sejurus dengan arah yang ditunjukkan oleh tanda panah
itu sampai akhirnya, sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, masih di
koridor, Yama melihat sebuah bola basket, tergeletak di bawah pilar gedung
INITIAL.
Dia menghampiri
bola basket itu dan memungutnya. Lalu dengan pandangan heran Yama
membolak-balik bola itu, mencari sesuatu yang janggal. Samudra
tahu bahwa Yama tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan karena Yama berdecak
kesal sembari terus membolak-balik si bola hingga ke bagian yang sudah
diperiksanya.
“Tidak ada
apa-apa.” Bisik Yama tidak percaya. Kepala Yama kembali bergerak aktif, menoleh
ke kiri, ke kanan, lalu ke bawah dan ke atas, seperti sedang mencari petunjuk.
Tak lama dia berhenti, pandangannya tertuju ke depan, ke arah pohon tak jauh
dari gedung. Di sana seorang Satpam sedang mengawasi mereka sambil merokok.
“Menggunakan
bola basket sebagai teka-teki. Ceroboh sekali. Bagaimana jika ada mahasiswa lain
yang menemukannya dan mengembalikannya ke lapangan basket? Bisa-bisa teka-teki
ini tidak terpecahkan.” Omel Samudra.
“Tidak,
untungnya Pertiwi sudah memperhitungkan itu.” Kata Yama.
“Apa?
Maksudnya?” Samudra kebingungan.
“Kau ini bodoh
sekali.” Gerutu Yama. Dia lalu berseru ke depan, ke arah si Satpam “Pak Satpam,
sekarang anda bisa pergi, terima kasih!”
Satpam itu
menghela nafas. Setelah mengangguk dia berjalan menjauh dari pohon, nampak
sangat kelelahan.
Samudra
terkesima “Satpam itu. Jangan-jangan Satpam itu…”
“Jadi kau baru
sadar?” ejek Yama “Bagaimana jika ada mahasiswa lain yang menemukan bola ini
dan mengembalikannya ke lapangan basket? Kekhawatiranmu sudah diperhitungkan
oleh Pertiwi. Satpam itu berdiri di sana untuk memastikan tidak ada orang lain
yang datang dan memungut bola ini selain kita.”
“Mana mungkin
aku langsung tahu apa yang Pertiwi rencanakan. Semua orang juga pasti begitu.”
Kata Samudra jengkel “Kasihan sekali orang itu, entah berapa lama dia berdiri
di sana menunggu kita. Kejam sekali Pertiwi, membebani orang lain dengan tugas
berat seperti itu.”
Yama diam saja.
“Jadi,
selanjutnya apa?” Tanya Samudra.
“Bukannya sudah
jelas?” sahut Yama “Kita akan mengembalikan bola ini ke lapangan basket.”
Bersambung ke Prelude of Six Colors (Bagian 2)
Bersambung ke Prelude of Six Colors (Bagian 2)
0 komentar: