Prelude of Six Colors (Bagian 1)


Matahari sudah tinggi saat seseorang berlari terengah-engah di antara kerumunan para mahasiswa di koridor kampus Udyanasapta. Dia melaju seperti sedang mengejar sesuatu yang amat sangat penting sehingga tidak mempedulikan orang-orang yang meneriaki namanya dengan jengkel karena tidak sengaja tertabrak olehnya. Sementara dua puluh meter dari tempat itu, Bara Dinata, ketua Sathriyapala, organisasi mahasiswa pencinta alam di Udyanasapta, sedang berdiri membelakangi White board di ruang UKM, menghadapi empat rekannya, yang merupakan tim inti dari organisasi itu.
“Kemana  Yama? kenapa jam segini dia belum datang juga?” Gerutu Bara pelan sembari melihat jam di tangannya.
“Sudahlah kita mulai saja rapatnya. Yama kan sudah biasa datang terlambat. Tidak usah ditunggu, nanti juga dia muncul.” Usul Arya Prasetya di pojok ruangan. Ananda Pertiwi, yang duduk di depannya, membalikkan badan dan tiba-tiba menggebrak pelan meja Arya.
Tidak setia kawan! Biarinkan sekali-kali Yama ikut rapat dari awal sampai selesai.” Sungut Pertiwi.
“Yak, kau benar Tiwi, aku setuju. Biarkan Yama ikut rapat ini dari awal sampai selesai.” Timpal Samudra Tanujaya yang duduk di depan, di sebelah meja Saras Nindya sembari menunjuk Pertiwi dengan gaya.
“Kalau begitu kita tunggu dia sebentar lagi.” Pinta Saras pada Bara.
Bara menghela nafas, kemudian mengangguk pelan. Tak jauh dari ruang UKM, tepatnya di koridor, jumlah mahasiswa yang jengkel karena bahunya terserempet semakin banyak. Orang itu masih terus berlari, nafasnya tersengal-sengal. Dia mendekati ruang UKM dan semakin mempercepat laju kakinya. Dia baru berhenti saat pintu ruang UKM tepat berada di depan wajahnya. Tangannya yang gemetar segera meraih gerendel pintu.
Saras, yang mendengar suara pintu yang hendak dibuka sontak mengalihkan pandangannya ke arah pintu, diikuti oleh teman-temannya.
“Nah itu dia.” Celetuk Samudra.
Perlahan pintu terbuka. Di saat perhatian semua orang di ruangan tertuju ke arah pintu, sebuah kepala menyembul keluar dari luar ruangan. Pemilik kepala itu terbelalak, lalu tersenyum salah tingkah. Beberapa detik dia dan seluruh penghuni ruangan saling pandang.
“Ma... maaf, saya salah ruangan.” Ternyata dia hanya seorang gadis berkacamata yang salah masuk ruangan. Pertiwi bergumam kecewa, Bara menggaruk kepalanya.
Gadis itu masih tersenyum salah tingkah saat dia secara perlahan menutup pintu, namun kali ini sebuah moncong sepatu melongok dari luar, menahan daun pintu yang hendak menutup. Tak lama seorang laki-laki muncul, tingginya hanya setara telinga semua laki-laki di ruangan, berkacamata dan terlihat angkuh meskipun pipinya belepotan cat minyak. Setelah menutup pintu, laki-laki itu melangkah mendekati meja di sebelah Saras dan tanpa berkata apa-apa dia mendudukkan diri.
“Yama, Kau telat lagi.” kata Bara.
“Bukannya biasanya juga seperti ini? Sudah, mulai saja rapatnya.” Sahut Yama cuek.
Bara menatap tajam Yama beberapa saat, lalu menghela nafas lagi dan mulai bicara. Di tengah suara Bara, Saras terus memperhatikan Yama. Yama yang berpura-pura tidak tahu akhirnya menyerah dan mengalihkan pandangannya pada Saras. Gadis itu tersenyum lalu menyentuh pipinya sendiri, memberi tanda bahwa ada sesuatu di pipi Yama. Yama mengerti dan bergegas mengusap pipinya. Tangannya langsung dipenuhi oleh cat minyak. Saras tertawa kecil lalu mengalihkan pandangannya pada Bara yang sedang berbicara panjang lebar mengenai jalur pendakian.
“...Jadi kita akan memilih jalur pendakian Cibodas untuk pendakian ke puncak Pangrango dan gunung Gede. Jalur ini aku rasa lebih aman dari pada jalur pendakian Salabintana....”
“Tunggu, tunggu.” Yama menyela “Kau menjelaskan jalur pendakian pada kita seolah-olah kita memang akan mendaki lagi. Kau bahkan belum meminta persetujuan anggota lain.”
“Maaf Yama, tapi aku sudah meminta pendapat anggota yang lain. Voting sudah dilakukan beberapa hari yang lalu dan hasilnya kita sepakat akan segera melakukan pendakian. Sayang sekalikau tidak hadir waktu itu.” Ucap Bara, tersenyum mengejek ke arah Yama. Yama langsung cemberut
 “Kita sudah tidak bisa diam lagi.” Bara melanjutkan “Sathriyapala udah terlalu lama tertidur. Dari sekian banyak unit kegiatan mahasiswa di Udyanasapta, Sathriyapala yang paling sedikit peminatnya, itu karena kita sudah terlalu lama tidak melakukan kegiatan apapun. Sekarang sudah saatnya kita tunjukkan ke mahasiswa lain kalo organisasi kita ini masih hidup!”
Pertiwi tiba-tiba bertepuk tangan.
“Aku setuju! sudah lama kaki ini tidakmerasakan pijatan dari batu-batu di pegunungan dan hidung ini...” Pertiwi menunjuk hidungnya “... sudah lama sekali tidak menghirup dengan susah payah oksigen yang tipis di puncak gunung.”
“Oh, jadi kau kangen saat-saat dimana kau sesak nafas dan hampir menangis?” Samudra menimpali.
“Hampir menangis? Kapan aku hampir menangis? Aku tidak pernah menangis dipendakian.” Sanggah Pertiwi.
“Wah, apa kau lupa? Waktu kita ke gunung Semeru kau pernah mengeluh padaku...” Samudra berdehem, lalu menirukan suara Pertiwi “‘Susah sekali bernafas di sini Sam’, ‘Aduh rasanya paru-paruku hampir kering’,’Sam aku butuh oksigen, aku butuh oksigen’ dan matamu berkaca-kaca waktu bicara begitu.”
“Mataku berkaca-kaca bukan karena menangis, waktu itu mataku kemasukan debu.” Seru Pertiwi membela diri.
“Aduh Tiwi, anak kecil juga tahu bedanya mata yang hampir menangis dengan mata yang kemasukan debu, aku yakin waktu itu kamu ham...”
“Baik.” Yama menyela ucapan Samudra “Boleh saja pendakian ini dilakukan. Tapi aku tidak yakin sama sekali jika rencana ini akan menghidupkan kembali Sathriyapala seperti yang kau bilang, Bara.”
Bara menatap Yama, menunggu laki-laki menyebalkan itu melanjutkan kalimatnya yang menggantung. Seisi ruangan menunggu, termasuk Samudra dan Pertiwi, yang perang mulutnya terhenti karena ucapan pesimis yang baru saja Yama lontarkan.
“Yah, sudah menjadi rahasia umum bukan, bahwa, sebagian besar mahasiswa di kampus ini meragukan kredibilitasmu sebagai ketua Sathriyapala.” Yama melanjutkan.
Bara tertegun, tiba-tiba ada kemarahan dan rasa malu terlukis di wajahnya. Namun Bara menahannya, karena melihat Saras yang memberikan tatapan Jangan-pedulikan-ucapannya. Sebagai ganti amarahnya yang seharusnya sudah meledak Bara lalu menghela nafas lagi.
“Oke, jalur pendakian sudah ditentukan. Kita akan segera melakukan booking dan mengurus perijinan. Arya, lusa kita akan berangkat ke sana untuk mengurus semuanya. Saras, besok tolong kau urus perijinan ke Rektor.” Kata Bara, Berusaha untuk mengabaikan ucapan Yama.
“Siap!” Seru Arya.
Saras mengangguk.
“Tapi kau harus memastikan tidak ada kesalahan lagi kali ini, atau Sathriyapala akan benar-benar mati. Kau tidak mau kan kalau anggota kita semakin berkurang cuma gara-gara kesalahan kecil?” Kata Yama.
Kali ini sepertinya Bara tidak bisa menahan diri.
“Sebenarnya maksudmu itu apa?” tanya Bara. Nada bicaranya mulai meninggi.
Yama mendengus “Tentu saja, kesalahan yang kau perbuat setengah tahun lalu, dipendakian terakhir kita.”
“Oh, jadi kau pikir kejadian setengah tahun yang lalu itu murni kesalahanku?” Tanya Bara jengkel. Emosinya sudah terpancing.
“Bukannya semua orang juga berpikir begitu, ya?” Yama balik bertanya dan hal itu membuat Bara terlihat semakin marah.
“Sudah cukup!” bentak Saras “Apa tidak ada hal lain yang bisa kalian perdebatkan selain kejadian yang udah berlalu? Banyak hal penting yang harus kita urus. Simpan tenaga dan pikiran kalian untuk itu. Tingkah kekanak-kanakan seperti ini yang justru akan membuat Sathriyapala semakin terpuruk.”
Yama dan Bara sama-sama menunduk mendengar ucapan Saras. Meskipun begitu, sedetik kemudian mereka kembali saling tatap, bertukar pandangan benci.

***
Rapat sudah selesai dan keputusan sudah diambil. Sathriyapala akan kembali melakukan aktivitasnya setelah rehat selama setengah tahun. Yama berjalan di koridor yang ramai. Dia sudah meninggalkan lukisannya di taman depan gedung fakultas seni rupa tempat dia biasa melukis demi menghadiri rapat pertama sejak mati surinya organisasi itu. Udyanasapta yang merupakan salah satu Institut Kesenian terbesar di Indonesia itu memang memperbolehkan siswa-siswanya mengekspresikan bakatnya di semua sudut kampus. Maka tidak heran jika kampus ini tidak hanya ramai oleh mahasiswa yang berdiskusi di koridor atau duduk membaca buku di taman, tetapi juga riuh oleh sekelompok siswa yang berlatih peran di dekat air mancur, saling adu suara di belakang gerbang kampus, duduk berderet sembari membuat patung tanah liat di dekat pos satpam dan masih banyak lagi.
“Yama, tunggu!”
Samudra tergopoh-gopoh, setengah berlari mengejar Yama yang bahkan tidak menoleh sedikitpun karena panggilannya. Saat jarak antara dirinya dan Yama sudah dekat, dia menarik bahu Yama dengan tidak sabar hingga tubuh Yama berbalik. Yama yang langkahnya dihentikan secara paksa nampaknya merasa tidak senang karena dia memberi Samudra tatapan masam.
“Tolong aku.” Kata Samudra.
“Aku sibuk.” Ucap Yama singkat. Dia lalu bergegas pergi, namun Samudra kembali menarik bahunya.
“Ayolah, sebentar saja. Aku mohon, cuma kau yang bisa menolongku.” Samudra menoleh ke belakang, kemudian menoleh ke samping kirinya, seperti sedang memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah itu dia menyodorkan lipatan kertas yang baru saja dia keluarkan dari saku celana pada Yama “Tolong pecahkan teka-teki ini.”
“Teka-teki lagi?” Yama menatap nanar kertas di tangan Samudra.
Samudra mengangguk “Ini syarat kencan dari Pertiwi. Dia memberi aku waktu sampai jam 6 sore ini untuk memecahkannya. Jika tidak ajakan kencanku malam minggu nanti akan dia tolak.”
Yama mendengus “Konyol sekali.”
Dia menarik kertas itu dari tangan dan mulai sibuk membuka lipatan kertasnya. Dahi Yama berkerut mendapati kalimat singkat yang tertulis di kertas itu.

Jalinan rantai dimulai, Meliukan kaki dan tangan penuh penghayatan dalam hal indah nan memanjakan telinga di antara damainya tujuh taman.

                Yama terdiam. Matanya fokus pada tulisan itu sementara dahinya masih berkerut, tanda sedang berpikir. Samudra juga ikut mengamati kertas dari Pertiwi itu dengan alis terangkat.
                “Aku butuh waktu dua jam untuk menafsirkan kalimat ini, mencari definisi setiap katanya di Google, mencari tahu hubungan semua katanya dengan Pertiwi, bahkan menggabungkan huruf depan semua kata, tapi aku hanya mendapatkan kata yang, bahkan dibaca pun tidak bisa. Sampai akhirnya aku benar-benar menyerah?” ujar Samudra.
Sekali lagi Yama mendengus. Masih menggenggam kertas berisi teka-teki, Yama membalikkan tubuhnya lalu mulai berjalan meninggalkan Samudra.
“Hey, kau mau kemana?”
“Gedung INITIAL.” Sahut Yama.
***
INITIAL adalah klub tari Udyanasapta. Mereka memiliki gedung sendiri tempat mahasiswa dari semua jurusan di Fakultas seni tari melakukan latihan. Gedung itu agak jauh dari gedung fakultas seni tari dan bersebelahan dengan taman yang bertetangga dengan lapangan basket di bagian belakang kampus yang rindang. Ke gedung itulah Yama sekarang berjalan, mengabaikan Samudra yang terus memanggilnya.
“Kenapa kita ke sini? Bagaimana dengan teka-tekinya? Apa kau sudah tahu jawabannya?” Samudra memberondong Yama dengan pertanyaan saat mereka sampai di gedung INITIAL.
Yama mendongak menatap gedung itu, lalu tersenyum “Gedung ini jawabannya.”
Samudra terbelalak “Oh ayolah, Jangan bercanda. Teka-teki itu penting sekali buatku...”
Tiba-tiba Yama menyodorkan kertas teka-teki hingga begitu dekat ke wajah Samudra.
“Aku tidak bercanda. Gedung ini memang jawabannya. Teka-teki sampah ini memiliki kunci jawaban, hanya saja kau terlalu malas untuk berpikir!” gerutu Yama kesal. Wajah Samudra tersembunyi sepenuhnya di balik kertas teka-tekinya “Kalimat terakhir, di antara damainya tujuh taman, yang dimaksud oleh kalimat itu adalah kampus ini karena Udyanasapta berarti tujuh taman. Apa kau tidak pernah membaca profil kampus di website?”
Di balik kertas Samudra menggeleng tetapi Yama tidak mempedulikannya karena dia segera melanjutkan ucapannya.
“Dengan begitu kalimat tadi menjadi kuncinya. Jawaban dari teka-teki ini pastilah ada di sekitar kampus. Kalimat berikutnya pun cukup mudah dimengerti, hal indah nan memanjakan telinga? tidak ada hal lain yang bisa melakukan itu selain musik. Lantas siapa yang biasanya meliukkan kaki dan tangan dengan penuh penghayatan dalam musik? Penari! Penari yang ada di Udyanasapta! Namun karena teka-teki ini nampaknya tidak menunjuk satu individupun maka aku mengartikannya sebagai tempat berkumpulnya para penari di Udyanasapta, gedung ini.”
Yama menyingkirkan kertas teka-teki di tangannya dari wajah Samudra. Samudra mengerjap, tak lama senyumnya tersungging “Jadi teka-tekinya sudah terpecahkan? INITIAL, itu jawabannya?”
Yama menggeleng. Gelengan itu seketika menghapus cengiran di wajah Samudra.
“Teka-teki ini belum selesai, kalimat paling awal, Jalinan rantai dimulai, membuat aku menduga bahwa Pertiwi tidak hanya menyiapkan satu teka-teki saja. Dengan kata lain teka-teki ini hanya permulaan dan masih ada teka-teki lain yang harus dipecahkan. Teka-teki berikutnya pasti ada di sekitar gedung ini.”
“Merepotkan sekali.” Gerutu Samudra “Lantas teka-teki berikutnya, kira-kira bentuknya seperti apa?”
“Mana kutahu.” Sahut Yama tidak sabar “Bisa berbentuk apa saja, kertas, kain, daun, apa saja. Yang jelas seharusnya Pertiwi tidak menggunakan media dengan warna mencolok, atau teka-tekinya akan mudah ditemukan.”
Samudra mengikuti dari belakang takkala Yama melangkah memasuki koridor gedung. Mereka memutari tempat itu, mencari teka-teki berikutnya. Kepala Yama bergerak sangat aktif, menoleh ke kiri, ke kanan, lalu ke bawah dan ke atas. Dia terlihat seperti paranoid yang curiga pada seluruh bagian gedung tari. Yama bahkan sempat berhenti di kolam ikan kecil di pinggir gedung untuk sekedar memeriksa beberapa pot di sana.
Sepuluh menit berlalu, tapi aksi Yama menyapu hampir seluruh bagian gedung yang bisa dijangkaunya tidak membuahkan hasil, sampai akhirnya…
“Yama.” Samudra memanggil. Dia berhenti di depan papan pengumuman di samping pintu masuk sembari menunjuk secarik kertas berwarna pink yang menempel di kaca.
Yama buru-buru menghampiri. Setelah memandangi kertas itu sesaat dia mencabutnya.
“Tidak menggunakan media dengan warna mencolok, eh?” kata Samudra. Nada bicaranya geli “Dia pakai kertas pink.”
“Aneh.” Kata Yama heran “Dia tidak membuat teka-tekinya menjadi lebih tersembunyi. Jangan-jangan…”
Kertas itu lebih tebal dari sebelumnya. Namun isinya tetap sama, berupa kalimat singkat berbunyi :
Berada di antara mereka (―) yang bertemu pada satu titik. Terkesima dengan penglihatan tetap yang cukup lama. Kau kekar seperti Adam.
Di bawah kalimat itu terdapat sebuah tanda panah hitam dengan ujung mengarah ke kiri. Dahi Yama kembali berkerut lagi. Matanya menatap bergantian barisan kalimat itu dan anak panah di bawahnya. Dia mulai berpikir.
“Bertemu pada satu titik? Lalu tanda di depan kata mereka itu, tanda minus?”
“Bukannya itu garis?” Samudra menyela.
“Garis? Jangan konyol…”
“Lihat saja.” Ucap Samudra “Itu seperti coretan lurus. Lagipula tanda minus tidak sepanjang itu. Bisa jadi kan Pertiwi berniat menggambar garis?”
Yama merenung. Jika mereka yang Pertiwi maksud adalah garis maka mungkin maksud dari kalimat pertama adalah lebih dari satu garis yang bertemu pada satu titik, karena Pertiwi menggunakan kata ‘mereka’.
“Sudut.” Gumam Yama dalam hati “Kalimat pertama adalah sudut. Kalimat kedua berhubungan dengan mata, mata yang melihat ke satu titik dalam waktu yang lama, mata yang memandang. Ya, pandangan. Sudut pandangan? Tidak, ini sudut pandang. Lalu, Adam? Sudut pandang Adam? Sudut pandang laki-laki? Tidak, tidak. Adam? Adam adalah…”
Mata Yama terbelalak. Samudra mengartikannya sebagai Yama telah menemukan jawabannya. Dia menanyakan hal itu tapi Yama bahkan tidak menoleh sedikitpun. Yama masih asyik dengan teka-tekinya.
“… Adam adalah manusia pertama. Itu berarti, sudut pandang manusia pertama, tidak, sudut pandang orang pertama.” Kali ini dia tersenyum lebar “Aku, jawabannya adalah Aku.”
“Bagaimana? Sudah ketemu jawabannya?” Samudra kembali bertanya.
Sekali lagi Yama tidak menggubris pertanyaan Samudra. Dia sedang sibuk mengamati tanda panah di bawah teka-teki yang baru saja dia pecahkan. Matanya menoleh dan menatap lurus ke kiri, sejurus dengan arah yang ditunjukkan oleh tanda panah itu sampai akhirnya, sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, masih di koridor, Yama melihat sebuah bola basket, tergeletak di bawah pilar gedung INITIAL.
Dia menghampiri bola basket itu dan memungutnya. Lalu dengan pandangan heran Yama membolak-balik bola itu, mencari sesuatu yang janggal. Samudra tahu bahwa Yama tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan karena Yama berdecak kesal sembari terus membolak-balik si bola hingga ke bagian yang sudah diperiksanya.
“Tidak ada apa-apa.” Bisik Yama tidak percaya. Kepala Yama kembali bergerak aktif, menoleh ke kiri, ke kanan, lalu ke bawah dan ke atas, seperti sedang mencari petunjuk. Tak lama dia berhenti, pandangannya tertuju ke depan, ke arah pohon tak jauh dari gedung. Di sana seorang Satpam sedang mengawasi mereka sambil merokok.
“Menggunakan bola basket sebagai teka-teki. Ceroboh sekali. Bagaimana jika ada mahasiswa lain yang menemukannya dan mengembalikannya ke lapangan basket? Bisa-bisa teka-teki ini tidak terpecahkan.” Omel  Samudra.
“Tidak, untungnya Pertiwi sudah memperhitungkan itu.” Kata Yama.
“Apa? Maksudnya?” Samudra kebingungan.
“Kau ini bodoh sekali.” Gerutu Yama. Dia lalu berseru ke depan, ke arah si Satpam “Pak Satpam, sekarang anda bisa pergi, terima kasih!”
Satpam itu menghela nafas. Setelah mengangguk dia berjalan menjauh dari pohon, nampak sangat kelelahan.
Samudra terkesima “Satpam itu. Jangan-jangan Satpam itu…”
“Jadi kau baru sadar?” ejek Yama “Bagaimana jika ada mahasiswa lain yang menemukan bola ini dan mengembalikannya ke lapangan basket? Kekhawatiranmu sudah diperhitungkan oleh Pertiwi. Satpam itu berdiri di sana untuk memastikan tidak ada orang lain yang datang dan memungut bola ini selain kita.”
“Mana mungkin aku langsung tahu apa yang Pertiwi rencanakan. Semua orang juga pasti begitu.” Kata Samudra jengkel “Kasihan sekali orang itu, entah berapa lama dia berdiri di sana menunggu kita. Kejam sekali Pertiwi, membebani orang lain dengan tugas berat seperti itu.”
Yama diam saja.
“Jadi, selanjutnya apa?” Tanya Samudra.
“Bukannya sudah jelas?” sahut Yama “Kita akan mengembalikan bola ini ke lapangan basket.”

Bersambung ke Prelude of Six Colors (Bagian 2)

0 komentar: