Prelude of Six Colors (Bagian 2)


Pemberhentian berikutnya lapangan basket. Tidak butuh waktu lama, Yama dan Samudra sampai di tempat itu. Di sana mereka langsung disambut oleh sebuah gambar lingkaran berwarna merah dengan garis miring di tengahnya yang tercetak jelas di tengah lapangan. Yama garuk-garuk kepala, setelah mengerjai seorang Satpam, kali ini Pertiwi melanjutkan kegilaannya dengan mengotori salah satu fasilitas kampus menggunakan cat semprot. Yama heran kenapa Samudra begitu menyukai gadis aneh seperti dia?
          “Yama, ada kertas lagi.” Samudra sudah berada di tengah-tengah lapangan, tepat di atas lingkaran merah itu. Dia melambai-lambaikan secarik kertas berwarna pink. Yama yakin sekali ada teka-teki lain di kertas itu, karenanya dia segera menghampiri Samudra yang langsung menyerahkan temuannya pada Yama.
       Benar saja, ada teka-teki lain pada kertas itu, namun kali ini kalimatnya lebih singkat :

                                Saat sang raja hutan kehilangan waktu dari pagi sampai pagi lagi. Jalinan rantai berakhir

“Menurutmu apa lingkaran ini juga berarti sesuatu? Atau hanya penanda saja agar kita bisa langsung menemukan kertas itu?” tanya Samudra.
“Aku belum tahu.” Sahut Yama. Matanya fokus pada sebaris kalimat di depannya “Yang jelas ini adalah teka-teki terakhir.”
Yama terdiam. Jika mengingat Pertiwi yang begitu memperhitungkan hal kecil seperti warna kertas serta pengamanan benda yang menjadi bagian dari teka-tekinya, hampir dipastikan bahwa lingkaran merah ini dibuat bukan untuk penanda. Lagipula warna kertas yang dia gunakan begitu mencolok, sehingga tanpa penanda sekalipun kertas ini akan mudah terlihat.
Samudra berjongkok dan menyentuh gambar lingkaran itu “Catnya masih baru. Mungkin Pertiwi menunggu kita datang baru membuat tanda ini. Seseorang mungkin berjaga-jaga di sekitar lapangan dan memberinya aba-aba. Wah, dia pasti sudah menyuap banyak orang. Tapi kenapa dia membuat tanda ini? Bukannya tanda ini artinya ‘dilarang’?”
Samudra benar, pikir Yama. Tanda ini artinya ‘dilarang’. Bisa juga diartikan dengan ‘tidak boleh’ atau ‘no’ yang berarti bisa disimpulkan sebagai tidak. Jika memang begitu lalu apa hubungannya dengan teka-teki baru ini? Yama membaca ulang kalimat pendek di kertas baru di tangannya.
“Sam, saat kau mendengar kalimat ‘Sang raja hutan’, apa yang terlintas dipikiranmu?” tanya Yama.
“Apalagi kalau bukan Harimau?” sahut Samudra.
Benar, hewan itu juga yang terlintas dipikiran Yama sesaat setelah membaca bagian awal teka-teki ini. Apa jadinya jika seekor Harimau kehilangan waktu dari pagi sampai pagi lagi. Apa yang Pertiwi maksud adalah Harimau yang mati? Jika itu yang dia maksud kenapa yang dipakai adalah kalimat ‘dari pagi sampai pagi lagi’, seolah-olah si Harimau hanya mati sesaat saja. Lagipula Yama tidak melihat adanya hubungan antara Harimau mati dan jawaban dari teka-teki sebelumnya.
Tiba-tiba mata Yama terbelalak. Benar, teka-teki sebelumnya! Semua kalimat panjang dari teka-teki yang Pertiwi buat hanya menunjuk satu kata sederhana saja. Hal yang sama pasti terjadi pada teka-teki ini. Jika bagian pertama merujuk pada kata Harimau, maka bagian kedua, ‘Waktu dari pagi sampai pagi lagi’ berarti Hari. Lantas apakah yang Pertiwi maksud adalah Harimau yang kehilangan Hari?
“Bagaimana? Kau sudah tahu jawabannya kan?” Samudra mengambil kesimpulan saat sekali lagi melihat Yama yang tersenyum cerah.
Yama mengangguk penuh gaya tanpa memberitahukan apa jawabannya. Teka-teki ini hanya soal menghilangkan bagian dari sebuah kata saja. Harimau yang kehilangan hari, maksudnya adalah Harimau yang benar-benar kehilangan hari, kehilangan kata ‘Hari’ yang menjadi bagian depan namanya sehingga tersisa kata ‘Mau’. Yama menjadi sangat antusias. Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya, bersiap untuk menggabungkan semua jawabannya dari semua teka-teki yang Pertiwi buat.
Teka-teki pertama menghasilkan jawaban berupa kata ‘Aku’. Teka-teki kedua hanya sebuah teka-teki mudah. Lingkaran merah dengan garis miring di tengahnya itu berarti ‘Tidak’. Lalu teka-teka yang baru saja dia pecahkan menghasilkan kata ‘Mau’. Jika ketiga kata tadi digabungkan menjadi…
Yama tertegun. Refleks dia menyerahkan kertas pink di tangannya pada Samudra yang kentara sekali sedang menunggunya angkat bicara. Lalu tanpa berkata apa-apa dia berjalan meninggalkan lapangan tanpa sedikitpun menoleh pada Samudra yang meneriaki namanya.
***
                Malam harinya saat tengah merapikan alat lukisnya ponsel Yama berdering. Itu berasal dari Pertiwi. Dengan malas Yama menerima panggilan itu lalu membiarkan Pertiwi berkicau.
                “Terimakasih, terimakasih banyak Yama! Aku sangat berharap kau paham dengan maksud teka-teki yang kubuat. Aku tahu jika kuberi syarat berupa teka-teki Sam akan langsung datang padamu, karena itu aku membuat teka-teki berisi pesan penolakan dan berharap kau bisa memahami maksud dibaliknya. Aku sangat lega karena kau tahu maksudku. Lima menit yang lalu Sam menelepon, dia menyerah karena tidak bisa memecahkan teka-tekinya tanpa bantuanmu. Tapi aku sangat menyesal, karena tampaknya dia marah padamu…”
                “Itu bukan hal besar.” Yama menyela “Aku tidak peduli sekalipun Sam ingin membunuhku. Tapi, caramu itu sangat tidak pantas. Lain kali jika kau ingin menolak seseorang, tolaklah dengan cara yang normal, bukan mempermainkannya terlebih dahulu seperti yang hari ini kau lakukan…”
                “Aku tidak bermaksud seperti itu!” suara Pertiwi menyanggah “Aku tidak tahu harus menggunakan cara apa untuk menolaknya. Sam sangat gigih, berapa kalipun kutolak dia akan tetap mencoba, karena itu aku menggunakan cara ini untuk membungkamnya. Lagipula aku melakukannya bukan tanpa alasan. Arya juga mengajakku kencan, karena aku sudah menolaknya aku juga harus menolak Sam agar salah satu dari mereka tidak kecewa. Dan sebelum aku terpaksa menerima ajakan Sam karena sikap keras kepalanya, aku harus melakukan sesuatu yang ekstrim untuk menolaknya. Karena itulah semua teka-teki itu kubu…”
                “Hei, hei, dengar, aku tidak peduli dengan kisah cinta segitiga kalian. Apapun alasannya kau sudah membuatku repot dengan semua teka-teki bodohmu. Jangan libatkan aku dengan urusanmu, dan kedua fansmu lagi! Camkan itu!”
                Yama lalu mengakhiri pembicaraan mereka.
***
Setelah melewati segala birokrasi rumit dan melengkapi segala tetek bengek perijinan yang membuat kepala para pengurus Sathriyapala pusing, termasuk merayu Rektor mereka yang, seperti telah disinggung Yama dengan tengilnya, juga hampir kehilangan kepercayaan tentang kredibilitas Bara sebagai ketua, akhirnya pendakianpun dilakukan.
Namun hanya tim inti saja yang ikut serta. Sementara anggota lain yang masih bertahan memutuskan untuk tidak ikut ambil bagian dalam event penting ini. Yama berceloteh diawal perjalanan bahwa absennya anggota lain adalah efek dari kejadian setengah tahun yang lalu. Bara kembali tersulut emosinya namun lagi-lagi Saras berhasil membuat dua orang temannya itu menahan keinginan mereka untuk saling pukul sehingga disisa perjalanan menuju Villa milik keluarga Tanujaya, Yama dan Bara hanya diam sementara yang lain asyik bercanda di mobil. Sebelum memulai pendakian, mereka memang berencana untuk menginap semalam di Villa milik keluarga Samudra itu, meskipun niat itu sempat ditolak habis-habisan oleh Pertiwi, bukan karena tempo hari dia telah menolak ajakan kencan Sam dengan cara abnormal, melainkan karena takut dengan pohon beringin besar di halaman belakang Villa.
Villa milik keluarga Tanujaya ini sangat megah dan berpagar tinggi. Seorang Satpam paruh baya tampak membuka gerbang  saat mobil yang mereka tumpangi masuk ke area Villa pukul empat sore. Lalu seorang laki-laki muda muncul dari balik taman Villa, bergegas mendekati mobil yang telah terparkir. Suasana sontak menjadi riuh karena ritual memindahkan barang bawaan dari mobil ke dalam Villa dimulai.
“Asep, bawa barang itu jangan setengah-setengah. Sekalian yang banyak biar cepat selesai. Malas sekali kamu jadi orang.” Hasan, Si Satpam menggerutu pada laki-laki muda itu.
Asep yang sudah membawa satu koper besar milik Pertiwi dan satu Tas kecil milik Saras akhirnya mencoba meraih tas Ransel hitam milik Yama. Yama melihat Asep ketakutan dan jengkel, sementara si Satpam terus mengawasi Asep dengan tatapan tajam.
Tidak usah mas, biar saya saja.” Kata Bara, seraya mengambil Tas Ranselnya yang susah payah dibawa oleh Asep.
Lima belas menit kemudian barang-barang bawaan telah dipindahkan. Arya duduk kelelahan di sofa, sementara Saras dan Pertiwi pergi ke Kamar mandi dan Bara serta Samudra, entah kemana, Yama tidak peduli. Yama sibuk berkeliling Villa, memeriksa satu demi satu ruangan, menyusuri sudut demi sudut rumah megah itu.
Villa ini tidak hanya megah, tetapi juga bersih. Ada dua asisten rumah tangga yang bekerja di sini, Asep dan seorang wanita bernama Sari. Mereka rupanya bekerja dengan benar dan memelihara tempat ini dengan sepenuh hati selagi sang pemilik tidak ada, dan juga mengikuti jadwal yang sudah disusun untuk sebulan dan ditempelkan di dekat dapur. Yama berjalan santai mendekati jadwal piket Villa itu berada. Di situ tertulis bahwa Asep mendapat giliran mengurus taman dan mencuci baju  untuk hari ini dan besok yang berarti dia memegang kendali lemari pakaian, mesin cuci dan peralatan serta segala hal lain yang berhubungan dengan tugasnya, sementara Sari diberi tanggung jawab membereskan bagian dalam Villa yang berarti memegang kendali hampir seluruh ruangan yang ada.
Selanjutnya Yama berjalan melewati dapur, lalu keluar lewat pintu yang ada di sana dan masuk ke ruangan terbuka tempat semua pakaian biasanya dijemur. Dia mendapati Samudra tengah mendongak ke atas, menatap tali-tali jemuran. Hanya ada empat baris tali, masing-masing sepanjang sekitar dua meter, terlalu sedikit bagi bangunan sebesar ini. Tidak heran, karena tidak banyak pakaian yang dicuci setiap harinya, kecuali jika keluarga besar Tanujaya berkumpul.
“Sedang apa kau?” tanya Yama sembari bersandar di pintu.
Samudra menoleh sebentar, lalu kembali mendongak “Memeriksa tali jemuran. Lihat, talinya kendur. Aku sedang memeriksa semua ruangan di sini dan ini adalah tempat terakhir yang kuperiksa. Saat aku sampai aku melihat dua baris talinya kendur, saat ingin kukencangkan tanganku tidak sampai. Aku tidak ingat kalau tali-tali jemurannya dipasang setinggi ini.”
Yama melempar pandang ke sisi lain tempat itu, ke dinding di mana pasak tempat ujung tali-tali itu diikatkan menancap. Yama memicingkan matanya, dia melihat sekitar empat puluh senti di bawah empat pasak itu terdapat lubang. Mungkin seseorang telah memindahkan pasak-pasak itu empat puluh senti lebih tinggi dari tempat semula. Tapi untuk apa?
“Kenapa tidak pakai tangga saja?” tanya Yama heran.
“Tadinya aku berniat begitu. Tapi aku tidak menemukan tangganya.” Sahut Samudra enteng “Aku akan tanya Asep, mungkin dia tahu di mana tangganya disimpan.”
Kemudian Samudra berjalan melewati Yama, dan berbelok ke kiri menuju ruang tengah. Yama mendengus. Samudra sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang menyimpan dendam. Apa dia terlalu bodoh untuk mengingat bahwa tempo hari Yama telah membuatnya jengkel?
***
Merasa puas setelah berkeliaran di dalam Villa, Yama memutuskan untuk keluar. Di taman dia melihat Asep kembali sibuk menyiram tanaman. Sementara itu disaat yang bersamaan, Sari baru saja masuk melalui gerbang yang dibukakan oleh Hasan. Wanita itu sempat berhenti sebentar di depan pos Satpam, terlihat berdebat dengan Hasan sebelum pergi dan menghilang di sisi samping Villa.
“Maaf mas, saya kira siapa.” Kata Asep saat menyadari kemunculan Yama di belakangnya. Yama diam saja.
Asep kembali menyirami bunga bougenville, sementara Yama melangkah sedikit ke depan. Memperhatikan beberapa tanaman di situ. Pandangannya lalu teralih ke arah gerbang, di sana Hasan sedang menguap di Posnya.
“Saya sudah sering datang ke sini tapi saya lihat pak Hasan itu tingkahnya tidak berubah, masih seenaknya sendiri.”
“Yah, dia kan sudah lama sekali kerja di sini mas. Saya mah maklum saja.” Ucap Asep.
“Kelihatannya pak Hasan juga kurang akur dengan bi Sari. Apa akhir-akhir ini mereka sering berdebat seperti tadi?”
“Ah tidak, cuma sesekali saja mereka seperti itu. Biasanya mereka ribut hanya karena pak Hasan tidak pernah mengganti seragamnya, padahal dia harus lembur, ya, hanya karena hal sepele.” Jawab Asep sembari terus bekerja.
Lalu Samudra muncul di teras. Dia melambaikan tangan ke arah Asep, meminta pemuda itu mendekat. Yama mendengar Samudra menanyakan soal tangga yang dijawab Asep dengan gelengan. Setelah garuk-garuk kepala tanda kesal, Samudra membiarkan Asep kembali ke taman untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
Keesokan harinya rombongan meninggalkan Villa pukul tujuh pagi setelah segala perlengkapan yang dibutuhkan seperti Handy Talkie, bekal minuman dan makanan, kotak P3K serta peralatan lainnya telah dipersiapkan.
Mereka sampai di gerbang masuk basecamp Cibodas sekitar pukul sembilan dan tertahan sebentar karena harus melapor dan menunjukkan surat-surat perijinan serta melewati pemeriksaan barang bawaan.
Tak lama perjalananpun dimulai. Mereka menyusuri jalan setapak berbatu, melintasi kawasan hutan tropis yang lebat. Suara burung dan suara monyet terdengar sesekali, membuat Pertiwi kegirangan sembari menunjuk-nunjuk pohon. Yama mendengus melihat tingkah gadis itu. Sekarang dia masih bisa tertawa bahagia dan bebas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Tetapi nanti saat mereka semakin dalam masuk ke hutan, Yama yakin Pertiwi akan membisu seperti patung.
Pertiwi, entah kenapa, sangat takut melihat pohon besar. Jika ada pohon besar di sekitarnya dia akan memilih untuk menyingkir. Uniknya hal itu tidak berlaku dipendakian. Dia selalu berusaha menguatkan diri meskipun terkesan agak dipaksakan. Alhasil pada setiap pendakian, Pertiwi selalu terlihat seperti orang yang ketakutan karena dikepung puluhan monster. Dia tidak berani melihat ke arah manapun, terutama ke atas, kecuali terpaksa dan beberapa kali terlihat gemetaran. Hal ini kadang-kadang menjadi bahan ejekan bagus bagi Samudra yang suka sekali menggodanya. Lepas dari semua itu, Pertiwi punya tekad yang sangat kuat, terbukti dia tidak pernah kapok mendaki.
“Tiwul, simpan tenagamu, perjalanan kita masih panjang.” Kata Arya yang berjalan tepat di depan Pertiwi.
Arya terkadang bisa bersikap sangat kekanak-kanakan. Tidak sedikit yang menganggapnya aneh karena celotehnya tentang serangan makhluk asing dan sosok pahlawan super. Imaninasinya begitu liar karena lebih sering menonton anime dan serial superhero Jepang dibandingkan berita di TV. Meskipun aneh dia adalah orang yang sangat bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Karena itu Bara sering memberinya tugas penting.
“Tenang saja, Tiwi itu cewek yang kuat. Dia tidak gampang capek. Tapi Jangan khawatir, Tiwi kalau kau sudah mulai capek, aku bisa menggendongmu.” Goda Samudra, dia menepuk-nepuk ranselnya sambil terkekeh.
Samudra memiliki hampir segalanya; dia tampan, populer di kampus dan memiliki masa depan cerah karena keluarganya sangat kaya raya. Meskipun berasal dari keluarga konglomerat, Samudra bukan tipe bocah kaya yang sombong dan tukang pamer. Sebaliknya dia cukup dermawan dan tidak segan mengeluarkan uangnya untuk menolong dan membuat teman-temannya bahagia. Minusnya, dia agak jail, suka menggoda cewek-cewek di kampus sehingga dicap sebagai Playboy dan tidak terlalu pintar.
Bara, yang berjalan paling depan, terus memperingatkan teman-temannya agar berhati-hati saat berjalan dan jangan sekalipun merusak tanaman yang ada.
Status Bara diperkumpulan ini adalah pemimpin, tidak hanya saat mereka sedang berkumpul atas nama organisasi, tetapi juga di luar urusan itu. Bara adalah seorang drumer handal sekaligus karateka yang hebat. Karena otot-ototnya terlatih, tubuh Bara menjadi yang paling tegap dibanding semua laki-laki di Sathriyapala. Dia juga populer di kampus karena kepribadiannya yang dianggap kalem namun tegas, padahal menurut Yama, Bara itu mudah sekali terpancing emosinya. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat Bara tunduk kecuali satu orang…
Saras Nindya, sepupu Samudra.
Yama berjalan dalam diam di belakang Saras. Gadis itu nampak kuat sekali meskipun harus menggendong ransel yang cukup besar. Yama terus memperhatikan Saras dari belakang, kagum.
Saras adalah alasan mereka semua berkumpul seperti sekarang. Saras seperti montir handal yang menyulap mobil tua tanpa harapan menjadi mobil yang mampu melaju kencang, Saras bak gadis kecil tulus yang menyusun istana Lego yang berantakan dan menjadikannya istana yang lebih megah. Saras menghidupkan kembali Sathriyapala yang hancur dan mengumpulkan mereka semua, membagi harapannya dan membuat organisasi itu kembali hidup. Bahkan saat Sathriyapala terpuruk untuk kedua kalinya, Saras muncul kembali sebagai penyemangat dan mengajak semua rekannya untuk bangkit.
Itulah Saras. Dia sosok yang dewasa dan tegas, bahkan lebih dewasa dan tegas dibanding Bara. Dia sosok yang ceria, bahkan lebih ceria dibanding Pertiwi dan Samudra. Tidak heran hampir semua orang di Udyanasapta mengidolakannya, mengidolakan sosok penari yang begitu mempesona itu.
Tiba-tiba Yama teringat masa lalunya, teringat kenangan indahnya bersama Saras, dulu, dulu sekali...
“Saras adalah gadis yang luar biasa. Bara beruntung mendapatkannya. Andai saja aku tidak bertindak bodoh dan...”
Yama menggelengkan kepalanya, mengusir lamunannya sendiri. Ternyata Saras menoleh ke belakang, tersenyum padanya lalu berkata “Kau kenapa? Sudah mulai capek?”
Yama menggeleng lagi. Kemudian Saras tertawa kecil dan kembali fokus ke depan.
Rombongan terus berjalan, melintasi trek yang mulai menanjak sehingga harus saling bantu satu sama lain. Kali ini urutan barisan berubah. Pertiwi yang semula berjalan membelakangi Arya maju ke depan sehingga membelakangi Samudra. Arya tetap berada di belakang. Yama kini membelakangi Saras, sehingga jika dia ingin melihat wajah gadis itu dia harus menoleh ke belakang. Bara tentu saja, masih berada di depan, memimpin rombongan dan masih saja cerewet memberi peringatan apalagi saat mereka sampai di Pos Pondok Pemandangan yang memaksa mereka melewati lereng curam yang dibatasi oleh jurang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat saat hampir memasuki Pos selanjutnya yaitu Pos Kandang Badak.
***
Setelah beristirarat kira-kira sepuluh menit, perjalanan kembali dilanjutkan. Mereka hampir mendekati puncak Pangrango. Pohon-pohon masih sangat lebat. Meskipun begitu langit masih bisa terlihat saat memandang ke atas.
Samudra sudah terlihat kelelahan. Begitu juga dengan Saras. Yama tidak tahu bagaimana dengan keadaan Bara karena dia masih memimpin barisan. Namun suasanan sunyi di perjalanan membuat Yama bisa mendengar nafas teman-temannya yang mulai tersengal-sengal.
Yama menebar pendangannya ke segala arah, tentu saja dengan tetap waspada karena jika tidak berkonsentrasi dengan langkahnya dia bisa saja tergelincir dan terperosok. Yama kaget saat dia menatap ke atas. Sebuah benda tampak turun dengan cepat, berekor asap hitam yang tebal, sehingga sekilas terlihat seperti pesawat yang jatuh. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kepala mereka namun nampaknya hanya dia yang menyadari. Setengah menit kemudian, setelah benda itu menghilang dari pandangan karena lebatnya pepohonan, terdengar suara dentuman keras disusul oleh gempa.
Tidak ada yang siap dengan kejadian itu sehingga keadaan menjadi kacau. Pertiwi jatuh terjerebab ke tanah, begitu juga dengan Arya. Sementara Yama, Bara dan Samudra terhuyung-huyung nyaris roboh. Saat gempa berhenti mereka pikir keadaan baik-baik saja, sampai akhirnya Pertiwi yang belum sempat bangun memekik sembari menunjuk ke bawah.
“SARAS!!”
Saras terperosok jatuh dan berguling di turunan di sebelah mereka.

Bersambung

0 komentar: