Pemberhentian berikutnya lapangan basket. Tidak butuh waktu lama, Yama dan Samudra sampai di tempat itu. Di sana mereka langsung disambut oleh sebuah gambar lingkaran berwarna merah dengan garis miring di tengahnya yang tercetak jelas di tengah lapangan. Yama garuk-garuk kepala, setelah mengerjai seorang Satpam, kali ini Pertiwi melanjutkan kegilaannya dengan mengotori salah satu fasilitas kampus menggunakan cat semprot. Yama heran kenapa Samudra begitu menyukai gadis aneh seperti dia?
“Yama,
ada kertas lagi.” Samudra sudah berada di tengah-tengah lapangan, tepat di atas
lingkaran merah itu. Dia melambai-lambaikan secarik kertas berwarna pink. Yama
yakin sekali ada teka-teki lain di kertas itu, karenanya dia segera menghampiri
Samudra yang langsung menyerahkan temuannya pada Yama.
Benar
saja, ada teka-teki lain pada kertas itu, namun kali ini kalimatnya lebih
singkat :
Saat sang raja hutan
kehilangan waktu dari pagi sampai pagi lagi. Jalinan rantai berakhir
“Menurutmu apa
lingkaran ini juga berarti sesuatu? Atau hanya penanda saja agar kita bisa
langsung menemukan kertas itu?” tanya Samudra.
“Aku belum
tahu.” Sahut Yama. Matanya fokus pada sebaris kalimat di depannya “Yang jelas
ini adalah teka-teki terakhir.”
Yama terdiam.
Jika mengingat Pertiwi yang begitu memperhitungkan hal kecil seperti warna
kertas serta pengamanan benda yang menjadi bagian dari teka-tekinya, hampir
dipastikan bahwa lingkaran merah ini dibuat bukan untuk penanda. Lagipula warna
kertas yang dia gunakan begitu mencolok, sehingga tanpa penanda sekalipun
kertas ini akan mudah terlihat.
Samudra
berjongkok dan menyentuh gambar lingkaran itu “Catnya masih baru. Mungkin
Pertiwi menunggu kita datang baru membuat tanda ini. Seseorang mungkin
berjaga-jaga di sekitar lapangan dan memberinya aba-aba. Wah, dia pasti sudah
menyuap banyak orang. Tapi kenapa dia membuat tanda ini? Bukannya tanda ini
artinya ‘dilarang’?”
Samudra benar,
pikir Yama. Tanda ini artinya ‘dilarang’. Bisa juga diartikan dengan ‘tidak
boleh’ atau ‘no’ yang berarti bisa disimpulkan sebagai tidak. Jika memang
begitu lalu apa hubungannya dengan teka-teki baru ini? Yama membaca ulang
kalimat pendek di kertas baru di tangannya.
“Sam, saat kau
mendengar kalimat ‘Sang raja hutan’, apa yang terlintas dipikiranmu?” tanya
Yama.
“Apalagi kalau
bukan Harimau?” sahut Samudra.
Benar, hewan
itu juga yang terlintas dipikiran Yama sesaat setelah membaca bagian awal
teka-teki ini. Apa jadinya jika seekor Harimau kehilangan waktu dari pagi
sampai pagi lagi. Apa yang Pertiwi maksud adalah Harimau yang mati? Jika itu
yang dia maksud kenapa yang dipakai adalah kalimat ‘dari pagi sampai pagi
lagi’, seolah-olah si Harimau hanya mati sesaat saja. Lagipula Yama tidak
melihat adanya hubungan antara Harimau mati dan jawaban dari teka-teki
sebelumnya.
Tiba-tiba mata
Yama terbelalak. Benar, teka-teki sebelumnya! Semua kalimat panjang dari
teka-teki yang Pertiwi buat hanya menunjuk satu kata sederhana saja. Hal yang
sama pasti terjadi pada teka-teki ini. Jika bagian pertama merujuk pada kata
Harimau, maka bagian kedua, ‘Waktu dari pagi sampai pagi lagi’ berarti Hari.
Lantas apakah yang Pertiwi maksud adalah Harimau yang kehilangan Hari?
“Bagaimana? Kau
sudah tahu jawabannya kan?” Samudra mengambil kesimpulan saat sekali lagi
melihat Yama yang tersenyum cerah.
Yama mengangguk
penuh gaya tanpa memberitahukan apa jawabannya. Teka-teki ini hanya soal
menghilangkan bagian dari sebuah kata saja. Harimau yang kehilangan hari,
maksudnya adalah Harimau yang benar-benar kehilangan hari, kehilangan kata
‘Hari’ yang menjadi bagian depan namanya sehingga tersisa kata ‘Mau’. Yama
menjadi sangat antusias. Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya, bersiap untuk
menggabungkan semua jawabannya dari semua teka-teki yang Pertiwi buat.
Teka-teki
pertama menghasilkan jawaban berupa kata ‘Aku’. Teka-teki kedua hanya sebuah
teka-teki mudah. Lingkaran merah dengan garis miring di tengahnya itu berarti
‘Tidak’. Lalu teka-teka yang baru saja dia pecahkan menghasilkan kata ‘Mau’.
Jika ketiga kata tadi digabungkan menjadi…
Yama tertegun.
Refleks dia menyerahkan kertas pink di tangannya pada Samudra yang kentara
sekali sedang menunggunya angkat bicara. Lalu tanpa berkata apa-apa dia
berjalan meninggalkan lapangan tanpa sedikitpun menoleh pada Samudra yang
meneriaki namanya.
***
Malam
harinya saat tengah merapikan alat lukisnya ponsel Yama berdering. Itu berasal dari
Pertiwi. Dengan malas Yama menerima panggilan itu lalu membiarkan Pertiwi
berkicau.
“Terimakasih,
terimakasih banyak Yama! Aku sangat berharap kau paham dengan maksud teka-teki
yang kubuat. Aku tahu jika kuberi syarat berupa teka-teki Sam akan langsung
datang padamu, karena itu aku membuat teka-teki berisi pesan penolakan dan
berharap kau bisa memahami maksud dibaliknya. Aku sangat lega karena kau tahu
maksudku. Lima menit yang lalu Sam menelepon, dia menyerah karena tidak bisa
memecahkan teka-tekinya tanpa bantuanmu. Tapi aku sangat menyesal, karena
tampaknya dia marah padamu…”
“Itu
bukan hal besar.” Yama menyela “Aku tidak peduli sekalipun Sam ingin
membunuhku. Tapi, caramu itu sangat tidak pantas. Lain kali jika kau ingin
menolak seseorang, tolaklah dengan cara yang normal, bukan mempermainkannya
terlebih dahulu seperti yang hari ini kau lakukan…”
“Aku
tidak bermaksud seperti itu!” suara Pertiwi menyanggah “Aku tidak tahu harus
menggunakan cara apa untuk menolaknya. Sam sangat gigih, berapa kalipun kutolak
dia akan tetap mencoba, karena itu aku menggunakan cara ini untuk
membungkamnya. Lagipula aku melakukannya bukan tanpa alasan. Arya juga
mengajakku kencan, karena aku sudah menolaknya aku juga harus menolak Sam agar
salah satu dari mereka tidak kecewa. Dan sebelum aku terpaksa menerima ajakan
Sam karena sikap keras kepalanya, aku harus melakukan sesuatu yang ekstrim
untuk menolaknya. Karena itulah semua teka-teki itu kubu…”
“Hei,
hei, dengar, aku tidak peduli dengan kisah cinta segitiga kalian. Apapun
alasannya kau sudah membuatku repot dengan semua teka-teki bodohmu. Jangan
libatkan aku dengan urusanmu, dan kedua fansmu lagi! Camkan itu!”
Yama
lalu mengakhiri pembicaraan mereka.
***
Setelah melewati segala birokrasi rumit
dan melengkapi segala tetek bengek perijinan yang membuat kepala para pengurus Sathriyapala
pusing, termasuk merayu Rektor mereka yang, seperti telah disinggung Yama
dengan tengilnya, juga hampir kehilangan kepercayaan tentang kredibilitas Bara
sebagai ketua, akhirnya pendakianpun dilakukan.
Namun hanya tim inti saja yang ikut
serta. Sementara anggota lain yang masih bertahan memutuskan untuk tidak ikut
ambil bagian dalam event penting ini. Yama berceloteh diawal perjalanan bahwa
absennya anggota lain adalah efek dari kejadian setengah tahun yang lalu. Bara
kembali tersulut emosinya namun lagi-lagi Saras berhasil membuat dua orang
temannya itu menahan keinginan mereka untuk saling pukul sehingga disisa perjalanan
menuju Villa milik keluarga Tanujaya, Yama dan Bara hanya diam sementara yang lain asyik bercanda di mobil. Sebelum memulai
pendakian, mereka memang berencana untuk menginap semalam di Villa milik
keluarga Samudra itu, meskipun
niat itu sempat ditolak habis-habisan oleh Pertiwi, bukan karena tempo hari dia
telah menolak ajakan kencan Sam dengan cara abnormal, melainkan karena takut
dengan pohon beringin besar di halaman belakang Villa.
Villa milik keluarga Tanujaya ini sangat megah
dan berpagar tinggi. Seorang Satpam paruh baya tampak membuka gerbang saat mobil yang mereka tumpangi masuk ke area Villa
pukul empat sore. Lalu seorang laki-laki muda muncul dari balik taman Villa,
bergegas mendekati mobil yang telah terparkir. Suasana sontak menjadi riuh karena
ritual memindahkan barang bawaan dari mobil ke dalam Villa dimulai.
“Asep, bawa barang itu jangan
setengah-setengah. Sekalian yang banyak biar cepat selesai. Malas sekali kamu jadi orang.” Hasan, Si Satpam
menggerutu pada laki-laki muda itu.
Asep yang sudah membawa satu koper
besar milik Pertiwi dan satu Tas kecil milik Saras akhirnya mencoba meraih tas
Ransel hitam milik Yama. Yama melihat Asep ketakutan dan jengkel, sementara si
Satpam terus mengawasi Asep dengan tatapan tajam.
“Tidak usah mas, biar saya saja.” Kata Bara, seraya mengambil Tas
Ranselnya yang susah payah dibawa oleh Asep.
Lima belas menit kemudian barang-barang
bawaan telah dipindahkan. Arya duduk kelelahan di sofa, sementara Saras dan
Pertiwi pergi ke Kamar mandi dan Bara serta Samudra, entah kemana, Yama tidak peduli. Yama sibuk berkeliling Villa, memeriksa satu
demi satu ruangan, menyusuri sudut demi sudut rumah megah itu.
Villa ini tidak
hanya megah, tetapi juga bersih. Ada dua asisten rumah tangga yang bekerja di
sini, Asep dan seorang wanita bernama Sari. Mereka rupanya bekerja dengan benar
dan memelihara tempat ini dengan sepenuh hati selagi sang pemilik tidak ada, dan
juga mengikuti jadwal yang sudah disusun untuk sebulan dan ditempelkan di dekat
dapur. Yama berjalan santai mendekati jadwal piket Villa itu berada. Di situ
tertulis bahwa Asep mendapat giliran mengurus taman dan mencuci baju untuk hari ini dan besok yang berarti dia
memegang kendali lemari pakaian, mesin cuci dan peralatan serta segala hal lain
yang berhubungan dengan tugasnya, sementara Sari diberi tanggung jawab
membereskan bagian dalam Villa yang berarti memegang kendali hampir seluruh
ruangan yang ada.
Selanjutnya
Yama berjalan melewati dapur, lalu keluar lewat pintu yang ada di sana dan
masuk ke ruangan terbuka tempat semua pakaian biasanya dijemur. Dia mendapati
Samudra tengah mendongak ke atas, menatap tali-tali jemuran. Hanya ada empat
baris tali, masing-masing sepanjang sekitar dua meter, terlalu sedikit bagi
bangunan sebesar ini. Tidak heran, karena tidak banyak pakaian yang dicuci
setiap harinya, kecuali jika keluarga besar Tanujaya berkumpul.
“Sedang apa
kau?” tanya Yama sembari bersandar di pintu.
Samudra menoleh
sebentar, lalu kembali mendongak “Memeriksa tali jemuran. Lihat, talinya
kendur. Aku sedang memeriksa semua ruangan di sini dan ini adalah tempat
terakhir yang kuperiksa. Saat aku sampai aku melihat dua baris talinya kendur,
saat ingin kukencangkan tanganku tidak sampai. Aku tidak ingat kalau tali-tali
jemurannya dipasang setinggi ini.”
Yama melempar
pandang ke sisi lain tempat itu, ke dinding di mana pasak tempat ujung
tali-tali itu diikatkan menancap. Yama memicingkan matanya, dia melihat sekitar
empat puluh senti di bawah empat pasak itu terdapat lubang. Mungkin seseorang
telah memindahkan pasak-pasak itu empat puluh senti lebih tinggi dari tempat
semula. Tapi untuk apa?
“Kenapa tidak
pakai tangga saja?” tanya Yama heran.
“Tadinya aku berniat
begitu. Tapi aku tidak menemukan tangganya.” Sahut Samudra enteng “Aku akan
tanya Asep, mungkin dia tahu di mana tangganya disimpan.”
Kemudian
Samudra berjalan melewati Yama, dan berbelok ke kiri menuju ruang tengah. Yama
mendengus. Samudra sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang menyimpan
dendam. Apa dia terlalu bodoh untuk mengingat bahwa tempo hari Yama telah
membuatnya jengkel?
***
Merasa puas setelah berkeliaran di dalam Villa, Yama
memutuskan untuk keluar. Di taman dia melihat Asep kembali sibuk menyiram
tanaman. Sementara itu disaat yang
bersamaan, Sari baru saja masuk melalui gerbang yang dibukakan oleh Hasan.
Wanita itu sempat berhenti sebentar di depan pos Satpam, terlihat berdebat
dengan Hasan sebelum pergi dan menghilang di sisi samping Villa.
“Maaf mas, saya kira siapa.” Kata Asep saat menyadari kemunculan Yama di belakangnya. Yama diam saja.
Asep kembali menyirami bunga
bougenville, sementara Yama melangkah sedikit ke depan. Memperhatikan beberapa
tanaman di situ. Pandangannya lalu teralih ke arah gerbang, di sana Hasan sedang menguap di Posnya.
“Saya sudah sering datang ke sini tapi saya lihat pak Hasan itu tingkahnya tidak berubah, masih
seenaknya sendiri.”
“Yah, dia kan sudah lama sekali kerja
di sini mas. Saya mah maklum saja.” Ucap Asep.
“Kelihatannya
pak Hasan juga kurang akur dengan bi Sari. Apa akhir-akhir ini mereka sering
berdebat seperti tadi?”
“Ah tidak, cuma
sesekali saja mereka seperti itu. Biasanya mereka ribut hanya karena pak Hasan tidak
pernah mengganti seragamnya, padahal dia harus lembur, ya, hanya karena hal
sepele.” Jawab Asep sembari terus bekerja.
Lalu Samudra
muncul di teras. Dia melambaikan tangan ke arah Asep, meminta pemuda itu
mendekat. Yama mendengar Samudra menanyakan soal tangga yang dijawab Asep
dengan gelengan. Setelah garuk-garuk kepala tanda kesal, Samudra membiarkan
Asep kembali ke taman untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
Keesokan harinya rombongan meninggalkan
Villa pukul tujuh pagi setelah segala perlengkapan yang dibutuhkan seperti
Handy Talkie, bekal minuman dan makanan, kotak P3K serta peralatan lainnya telah dipersiapkan.
Mereka sampai di gerbang masuk basecamp
Cibodas sekitar pukul sembilan dan tertahan sebentar karena harus melapor dan
menunjukkan surat-surat perijinan serta melewati pemeriksaan barang bawaan.
Tak lama perjalananpun dimulai. Mereka
menyusuri jalan setapak berbatu, melintasi kawasan hutan tropis yang lebat.
Suara burung dan suara monyet terdengar sesekali, membuat Pertiwi kegirangan
sembari menunjuk-nunjuk pohon.
Yama mendengus melihat tingkah gadis itu. Sekarang dia masih bisa tertawa
bahagia dan bebas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Tetapi nanti saat
mereka semakin dalam masuk ke hutan, Yama yakin Pertiwi akan membisu seperti
patung.
Pertiwi, entah
kenapa, sangat takut melihat pohon besar. Jika ada pohon besar di sekitarnya
dia akan memilih untuk menyingkir. Uniknya hal itu tidak berlaku dipendakian.
Dia selalu berusaha menguatkan diri meskipun terkesan agak dipaksakan. Alhasil
pada setiap pendakian, Pertiwi selalu terlihat seperti orang yang ketakutan
karena dikepung puluhan monster. Dia tidak berani melihat ke arah manapun,
terutama ke atas, kecuali terpaksa dan beberapa kali terlihat gemetaran. Hal
ini kadang-kadang menjadi bahan ejekan bagus bagi Samudra yang suka sekali
menggodanya. Lepas dari semua itu, Pertiwi punya tekad yang sangat kuat,
terbukti dia tidak pernah kapok mendaki.
“Tiwul, simpan
tenagamu, perjalanan kita masih panjang.” Kata Arya yang berjalan tepat di
depan Pertiwi.
Arya terkadang
bisa bersikap sangat kekanak-kanakan. Tidak sedikit yang menganggapnya aneh
karena celotehnya tentang serangan makhluk asing dan sosok pahlawan super.
Imaninasinya begitu liar karena lebih sering menonton anime dan serial
superhero Jepang dibandingkan berita di TV. Meskipun aneh dia adalah orang yang
sangat bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Karena itu Bara sering memberinya
tugas penting.
“Tenang saja,
Tiwi itu cewek yang kuat. Dia tidak gampang capek. Tapi Jangan khawatir, Tiwi
kalau kau sudah mulai capek, aku bisa menggendongmu.” Goda Samudra, dia
menepuk-nepuk ranselnya sambil terkekeh.
Samudra
memiliki hampir segalanya; dia tampan, populer di kampus dan memiliki masa
depan cerah karena keluarganya sangat kaya raya. Meskipun berasal dari keluarga
konglomerat, Samudra bukan tipe bocah kaya yang sombong dan tukang pamer.
Sebaliknya dia cukup dermawan dan tidak segan mengeluarkan uangnya untuk
menolong dan membuat teman-temannya bahagia. Minusnya, dia agak jail, suka
menggoda cewek-cewek di kampus sehingga dicap sebagai Playboy dan tidak terlalu
pintar.
Bara, yang berjalan paling depan, terus memperingatkan
teman-temannya agar berhati-hati saat berjalan dan jangan sekalipun merusak
tanaman yang ada.
Status Bara
diperkumpulan ini adalah pemimpin, tidak hanya saat mereka sedang berkumpul
atas nama organisasi, tetapi juga di luar urusan itu. Bara adalah seorang
drumer handal sekaligus karateka yang hebat. Karena otot-ototnya terlatih,
tubuh Bara menjadi yang paling tegap dibanding semua laki-laki di Sathriyapala.
Dia juga populer di kampus karena kepribadiannya yang dianggap kalem namun
tegas, padahal menurut Yama, Bara itu mudah sekali terpancing emosinya. Tidak
ada seorangpun yang bisa membuat Bara tunduk kecuali satu orang…
Saras Nindya,
sepupu Samudra.
Yama berjalan dalam diam di belakang
Saras. Gadis itu nampak kuat sekali meskipun harus menggendong ransel yang
cukup besar. Yama terus memperhatikan Saras dari belakang, kagum.
Saras adalah
alasan mereka semua berkumpul seperti sekarang. Saras seperti montir handal
yang menyulap mobil tua tanpa harapan menjadi mobil yang mampu melaju kencang,
Saras bak gadis kecil tulus yang menyusun istana Lego yang berantakan dan
menjadikannya istana yang lebih megah. Saras menghidupkan kembali Sathriyapala
yang hancur dan mengumpulkan mereka semua, membagi harapannya dan membuat organisasi
itu kembali hidup. Bahkan saat Sathriyapala terpuruk untuk kedua kalinya, Saras
muncul kembali sebagai penyemangat dan mengajak semua rekannya untuk bangkit.
Itulah Saras.
Dia sosok yang dewasa dan tegas, bahkan lebih dewasa dan tegas dibanding Bara.
Dia sosok yang ceria, bahkan lebih ceria dibanding Pertiwi dan Samudra. Tidak
heran hampir semua orang di Udyanasapta mengidolakannya, mengidolakan sosok
penari yang begitu mempesona itu.
Tiba-tiba Yama teringat masa
lalunya, teringat kenangan indahnya bersama Saras, dulu, dulu sekali...
“Saras adalah gadis yang luar biasa.
Bara beruntung mendapatkannya. Andai saja aku tidak bertindak bodoh dan...”
Yama menggelengkan kepalanya, mengusir
lamunannya sendiri. Ternyata Saras menoleh ke belakang, tersenyum padanya lalu
berkata “Kau
kenapa? Sudah
mulai capek?”
Yama menggeleng lagi. Kemudian Saras
tertawa kecil dan kembali fokus ke depan.
Rombongan terus berjalan, melintasi
trek yang mulai menanjak sehingga harus saling bantu satu sama lain. Kali ini
urutan barisan berubah. Pertiwi yang semula berjalan membelakangi Arya maju ke
depan sehingga membelakangi Samudra. Arya tetap berada di belakang. Yama kini
membelakangi Saras, sehingga jika dia ingin melihat wajah gadis itu dia harus
menoleh ke belakang. Bara tentu saja, masih berada di depan, memimpin rombongan dan masih saja
cerewet memberi peringatan apalagi saat mereka sampai di Pos Pondok Pemandangan
yang memaksa mereka melewati lereng curam yang dibatasi oleh jurang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk
beristirahat saat hampir memasuki Pos selanjutnya yaitu Pos Kandang Badak.
***
Setelah beristirarat
kira-kira sepuluh menit, perjalanan kembali dilanjutkan.
Mereka hampir mendekati puncak Pangrango. Pohon-pohon masih sangat lebat.
Meskipun begitu langit masih bisa terlihat saat memandang ke atas.
Samudra sudah terlihat kelelahan.
Begitu juga dengan Saras. Yama tidak tahu bagaimana dengan keadaan Bara karena
dia masih memimpin barisan. Namun suasanan sunyi di perjalanan membuat Yama bisa mendengar nafas
teman-temannya yang mulai tersengal-sengal.
Yama menebar pendangannya ke segala
arah, tentu saja dengan tetap waspada karena jika tidak berkonsentrasi dengan langkahnya dia bisa
saja tergelincir dan terperosok. Yama kaget saat dia menatap ke atas. Sebuah benda
tampak turun dengan cepat, berekor
asap hitam yang tebal, sehingga sekilas terlihat seperti pesawat yang jatuh. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kepala mereka namun nampaknya hanya
dia yang menyadari. Setengah menit kemudian, setelah benda itu menghilang dari pandangan karena lebatnya pepohonan, terdengar suara dentuman keras disusul oleh gempa.
Tidak ada yang siap dengan kejadian itu
sehingga keadaan menjadi kacau. Pertiwi jatuh terjerebab ke tanah, begitu juga dengan Arya. Sementara Yama, Bara dan Samudra terhuyung-huyung
nyaris roboh. Saat gempa berhenti mereka pikir keadaan baik-baik saja, sampai
akhirnya Pertiwi yang belum sempat bangun memekik sembari menunjuk ke bawah.
“SARAS!!”
Saras terperosok jatuh dan berguling di
turunan di sebelah mereka.
Bersambung
Bersambung
0 komentar: